TW-05


kembali | lanjut

TW-05 RATRI yang mendengarkan percakapan itu seolah-olah membeku di tempatnya. Tetapi sebagai seorang gadis, ia dapat merasakan perasaan Temunggul terhadapnya. Karena itu maka ia segera dapat mengambil kesimpulan, bahwa Temunggul menjadi cemburu.

Tetapi apaboleh buat. Hatinya sama sekali tidak mau disangkutkannya kepada anak-anak muda itu. Betapa Temunggul dikagumi setiap anak-anak muda dan terutama gadis-gadis. Ia memang menganggap bahwa Temunggul adalah seorang yang luar biasa. Hanya itu. Tetapi bukan seorang yang berhasil mencengkam hatinya.

Apalagi kalau dikenangnya, bahwa Temunggul memang pernah menyatakan kata hatinya itu kepadanya. Sehingga dengan demikian Ratri hampir pasti bahwa agaknya Temunggul tidak mau melihat ia bergaul dengan siapapun selain dengan dirinya sendiri.

Betapa terasa sakit hati Ratri.  Sebagai seorang gadis maka saluran yang paling dekat untuk menyatakan perasaannya adalah titik-titik air mata.

Demikian pepat hati Ratri menghadapi masalahnya, sehingga ia tidak dapat menahan lagi air matanya yang mengalir. Meleleh di pipinya, dan satu-satu jatuh di atas pasir dibawah kakinya.

Melihat Ratri menangis, Temunggul menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada yang rendah ia berkata, “Sudahlah Ratri. Pulanglah. Jangan hiraukan kami. Aku akan berbicara dengan Bramanti.”

“Kau menghina aku Temunggul,” desis Ratri.

“Maafkan aku Ratri. Aku tidak bermaksud menyakiti hatimu. Karena itu, pulanglah. Persoalan ini adalah persoalanku dengan Bramanti.”

“Tetapi aku adalah orang yang sedang kalian persoalkan,” potong Ratri, yang kemudian disambungnya. “Temunggul. Kalau di dengar orang lain, bahwa kalian berselisih karena aku, maka alangkah malunya. Aku akan kehilangan harga diriku. Semua orang akan mencemohkan aku, seolah-olah aku telah merendahkan diriku, dan membuat kalian berebut seperti buah durian yang runtuh.”

Kedua anak-anak muda itu terdiam. Mereka merasakan sentuhan kata-kata Ratri. Sebagai seorang gadis, maka ia tidak akan dapat melepaskan dan melupakan persoalan itu dengan mudah. Setiap tatapan mata orang-orang yang berjalan berpapasan akan terasa seolah-olah mata itu memandangnya dengan tajam. Seolah-olah ingin melihat manakah gadis yang telah menjadi sumber persoalan antara anak-anak muda di Kademangan Candi Sari.

Sedang apabila seseorang tidak melihatnya apabila mereka berpapasan di tempat ramai, maka ia merasa bahwa orang itu telah memalingkan wajahnya sambil mencibirkan bibirnya.

Bramanti yang masih memegang bakul cucian Ratri kemudian melangkah mendekatinya sambil berkata perlahan-lahan, “Ratri. Inilah bakul cucianmu. Memang sebaiknya kau pulang. Aku pun akan pergi tanpa mempersoalkan apa-apa lagi. Perjumpaan yang kebetulan ini agaknya tidak menyenangkan hatimu.”

Ratri yang masih menangis menerima bakul itu. Kemudian ia berkata terputus-putus, “Terserahlah kepada kalian, apakah kalian akan menista namaku atau tidak.”  Bramanti tidak menjawab. Tetapi ia pun segera melangkah pergi meninggalkan Ratri yang masih sibuk membersihkan air matanya. Sedang Temunggul berdiri mematung di tempatnya. Namun ketika ia melihat Ratri menerima bakulnya dari Bramanti terasa dadanya bergetar.

Tetapi Bramanti sama sekali sudah tidak berpaling lagi. Dilangkahinya parit yang membujur di sebelah tanggul, kemudian dengan tergesa-gesa ia berjalan menyelusur pematang kembali ke desanya.

Temunggul yang ditinggalkan oleh Bramanti menjadi berdebar-debar. Beberapa langkah ia maju mendekati Ratri sambil berkata, “Maafkan aku Ratri. Sekarang, marilah kita pulang. Aku menyangka bahwa kau telah bergaul terlampau rapat dengan Bramanti. Aku memang tidak senang melihat hal itu, karena aku pernah mendengar cerita tentang ayah Bramanti. Sifat-sifat itulah yang agaknya memberinya peringatan. Percayalah, bahwa aku bermaksud baik.”

Ratri menganggukkan kepalanya, “Ya, aku berterima kasih bahwa kau memperhatikan hal itu. Biarlah aku sekarang pulang sendiri.”

“Kita bersama-sama Ratri.”

“Aku akan pulang sendiri.”

“Apakah kau tidak takut?”

“Aku tinggal berjalan beberapa langkah. Seandainya terjadi sesuatu, maka suara teriakanku akan didengar oleh orang-orang di desa, dan mungkin digubug-gubug di sawah itu.”

“Marilah kita pulang bersama-sama. Apakah keberatanmu?”

“Terima kasih Temunggul. Sebaiknya aku pulang sendiri.”

Temunggul menarik nafas dalam-dalam. Perasaannya telah mulai dirayapi oleh kecurigaannya atas sikap Ratri itu. Sehingga tiba-tiba saja ia merasa mendapat kesempatan untuk bertanya kepadanya, apakah Ratri dapat mengerti perasaannya itu.

Betapa beratnya, namun Temunggul itu berkata, “Ratri, aku minta ijinmu, sebaiknya kita pulang bersama-sama. Aku ingin menyampaikan sesuatu kepadamu Ratri, supaya selanjutnya hatiku menjadi tentram. Supaya apabila aku melihat hal-hal serupa ini, dadaku tidak segera terbakar.”

Ratri segera mengerti maksud Temunggul. Karena itu maka ia menjawab, “Jangan kau tanyakan lagi hal itu Temunggul. Apabila dalam keadaan seperti ini. Sudahlah, aku akan pulang sendiri.”

“Ratri,” berkata Temunggul. “Sudah terlampau lama aku menahan hati. Kau harus tahu Ratri, bahwa aku tidak pernah dapat tidur nyenyak. Karena itu, aku minta kau rela memberikan jawabanmu atas perasaanku terhadapmu.”

“Aku akan pulang Temunggul,” potong Ratri sambil melangkah pergi.

“Ratri,” panggil Temunggul yang mengikutinya. “Jawablah.”

Ratri tidak segera menjawab. Tetapi ia berjalan semakin cepat.

Temunggul yang berjalan dibelakangnya mendesaknya. “Jawablah, Ratri. Satu patah kata telah cukup bagiku.”

Tetapi Ratri tidak menyahut. Ia berjalan semakin cepat menyusur tanggul sungai.

Temunggul yang berjalan di belakangnya pun menjadi semakin cepat pula. Nafsunya untuk mendengar jawaban Ratri pun menjadi semakin melonjak di dalam dadanya. Karena itu maka ia selalu mendesaknya. “Ratri, jawablah Ratri. Kalau kau sudah menjawab, maka tidak akan timbul persoalan lagi padaku. Meskipun seandainya aku melihat kau bersama siapapun, hatiku tidak akan lagi cemas, karena aku telah mempunyai pegangan. Itu akan berarti bahwa aku tidak bermaksud melarang kau bergaul dengan siapapun. Namun aku memerlukan jawaban itu.”

Pertanyaan-pertanyaan Temunggul itu serasa memburu perasaannya, sehingga Ratri pun semakin mempercepat langkahnya. Bahkan kemudian ia berlari-lari kecil disepanjang tanggul.

Di kejauhan seseorang yang sedang berada di sawah melihat keduanya seakan-akan sedang berkejaran. Tetapi orang itu sama sekali tidak menaruh perhatian. Hampir setiap orang mengenal Temunggul, dan hampir setiap orang, apalagi anak-anak mudanya menganggap pergaulan Temunggul dan Ratri telah menjadi semakin erat. Apalagi ayah Ratri sendiri sering mempercakapkan Temunggul dan memujinya sebagai seorang pahlawan yang tidak ada duanya di Kademangan Candi Sari.

Karena itu, orang itu pun tidak mengacuhkannya lagi. Diteruskannya kerjanya, mencangkul sawahnya. Ratri yang merasa selalu dikejar oleh pertanyaan yang tidak dapat segera dijawabnya berlari semakin kencang, dan Temunggul pun berlari semakin kencang pula.Namun sudah tentu Ratri tidak akan dapat menjauhi anak muda itu, karena ia tidak dapat berlari sekencang Temunggul. Dengan demikian maka ketakutan dan kecemasan semakin membayanginya. Sehingga ia masih berusaha sekuat-kuat tenaganya untuk berlari semakin cepat.

Tetapi sayang, ia adalah seorang gadis. Kain panjangnya yang agak basah ternyata sangat mengganggunya. Maka ketika ia meloncati sebuah lekuk yang menembus tanggul itu, ia tergelincir.

Terdengar sebuah jerit yang nyaring memecah udara yang jernih. Suara itu bergema memenuhi jalur sungai dibawahnya. Namun suara itu pun kemudian lenyap ketika Ratri terguling di tebing yang meskipun tidak begitu dalam, tetapi terjal dan keras.
Temunggul terkejut bukan kepalang. Sejenak ia berdiri mematung. Namun sejenak kemudian dengan tangkasnya ia meloncat turun mengejar Ratri yang terguling itu.
Beberapa orang yang sedang berada di sawah ternyata mendengar jerit itu pula. Sejenak mereka mencoba menyakinkan pendengarannya. Namun sejenak kemudian mereka segera berloncatan berlari menuju ke sumber bunyi itu.
Mereka yang segera sampai ke tanggul sungai itu melihat Temunggul sedang menolong Ratri yang lemas. Nafasnya terengah-engah dan wajahnya menjadi pucat seperti kapas. Beberapa bagian dari tubuhnya menjadi luka-luka sehingga darahnya pun memerahi pakaiannya.

“Kenapa anak ini Temunggul?” bertanya salah seorang dari antara mereka.

“Ia tergelincir dan terguling,” jawab Temunggul terbata-bata. Namun hatinya menjadi berdebar-debar apabila Ratri menyanggahnya.

Namun ia menarik nafas ketika ia mendengar suara Ratri lemah, “Aku tergelincir paman.”

Orang-orang yang ada di sekitarnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Orang yang melihatnya berlari-lari di tanggul mengerutkan keningnya sambil berdesis diri sendiri, “Anak-anak muda tidak pernah berhati-hati. Itulah salahnya, berkejaran di atas tanggul.”

Beberapa orang pun kemudian membantu mengangkat Ratri. Tetapi Ratri menolaknya. Katanya, “Aku akan berjalan sendiri.”

“Kau sakit Ratri. Biarlah kami dukung kau pulang.”

“Tidak paman. Orang-orang di desa akan terkejut melihatnya. Aku tidak apa-apa.”

Orang-orang itu saling berpandangan sejenak. “Kalau begitu beristirahatlah dahulu.”

Ratri pun kemudian duduk bersandar kedua belah tangannya. Dicobanya untuk mengatur nafasnya yang terengah-engah. Diusapnya darah yang masih merentul dari lubang-lubangnya.
“Cucianku,” Ratri berdesis.

“Kenapa dengan cucianmu?”  Ratri tidak menjawab. Tetapi dipandanginya seonggok cucian yang kini justru penuh dengan pasir dan lumpur.

“O,” desis seorang yang kemudian memungut cucian itu. “Biarlah aku celup lagi cucianmu.”

“Jangan paman, jangan,” Ratri mencegahnya.

“Kenapa?”

“Jangan.”

“Ya. Kenapa?”

“Cucian itu. Jangan. Biarlah aku saja yang mencucinya kembali. Biarlah cucian itu berada disitu. Cucian itu adalah cucianku. Tidak pantas paman mencucinya.”

Orang itu menarik nafas. Tetapi ia tidak memaksanya. Dibiarkannya saja cucian itu teronggok ditempatnya.
Setelah beristirahat sejenak, serta memampatkan darah dari luka-lukanya, Ratri mencoba untuk berdiri. Selangkah ia maju dibantu oleh dua orang yang berada sebelah menyebelah.
“Terima kasih. Aku akan berjalan sendiri. Aku akan mencucinya di rumah saja.”

“Baiklah. Sekarang marilah aku antar kalian pulang. Ratri mengerutkan keningnya. Sekilas dipandanginya Temunggul yang menundukkan kepalanya. Tetapi ia tidak sampai hati untuk mengatakan apa yang terjadi sebenarnya. Karena itu, maka Ratri pun tidak mengatakan sepatah kata pun tentang Temunggul.

Sejenak kemudian, maka Ratri pun di antar pulang oleh beberapa orang bersama Temunggul yang membawa bakul cucian Ratri.

Kedatangan Ratri telah mengejutkan beberapa orang yang melihatnya, apalagi orang tuanya. Namun mereka pun kemudian menarik nafas dalam-dalam sambil mengangkat bahunya, setelah beberapa orang mengatakan apa yang telah terjadi sepengetahuan mereka.

Setelah peristiwa itu, kebencian Temunggul kepada Bramanti semakin menjadi-jadi. Ia tidak sekadar benci karena Bramanti adalah anak seorang penjudi besar yang terbunuh dalam suatu lingkaran perjudian karena telah mencoba berbuat curang dan menipu lawan-lawannya, sehingga perselisihan tidak dapat dihindarkan lagi. Tetapi kebenciannya itu sebenarnya lebih banyak dipengaruhi oleh perasaan cemburunya.

“Aku akan mencari alasan untuk menangkapnya,” katanya di dalam hati. “Ia harus diberi sedikit pelajaran agar ia benar-benar menjadi jera.”

Dalam pada itu, Bramanti sendiri sangat dipengaruhi oleh peristiwa itu. Apalagi apabila terngiang di telinganya, pertanyaan-pertanyaan Ratri tentang kakaknya Panggiring.

“Gadis itu mengaguminya,” katanya di dalam hati.  Sambil menghentakkan tangannya ia bergumam, “Ia melihat aku sebagai seorang pengecut. Seorang yang tidak dapat disebut jantan. Itulah sebabnya ia menganggapku sebagai kawannya bermain.”

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Ia dihadapkan pada suatu keadaan yang membuat hatinya terlampau sakit. Perhatiannya kepada Ratri yang tumbuh perlahan-lahan justru karena berita tentang Panggiring yang telah sampai ke Kademangan itu.

Apalagi Temunggul telah terlanjur menuduhnya, dan bahkan diancam dengan segala macam cara, agar ia menjauhi Ratri.
Bramanti menggigit bibirnya. Ia berdiri dalam kebimbangan.
“Tidak,” tiba-tiba ia menggeram. “Aku tidak boleh menjadi korban yang sama sekali tidak berarti. Kalau Temunggul pada suatu saat kehilangan akal, maka aku tidak akan dapat bersikap seperti kerbau yang paling bodoh. Apalagi aku tidak mempunyai harapan apapun bagi diriku sendiri.”

Tetapi tiba-tiba wajah Bramanti itu tertunduk. Terngiang pesan gurunya, bahwa ia harus berlaku baik. “Kalau kau ingin berbakti kepada orang tuamu, Bramanti,” berkata gurunya, “Maka cucilah nama ayahmu. Kau harus menjadi orang yang berguna bagi Kademanganmu. Mungkin sementara waktu kau akan terlampau banyak berkorban. Terutama perasaan dan harga diri. Tetapi pada suatu ketika kau akan menjadi orang yang terpandang di Kademanganmu. Hindarkanlah setiap persoalan,” kemudian suara ibunya yang parau, “Kenapa kau pelajari ilmu semacam itu? Ayahmu juga mempelajari ilmu semacam itu dahulu.”

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa terbelenggu oleh pesan gurunya dan pendirian ibunya. Ibunya lebih senang melihat Bramanti sebagai seorang yang jinak dan selalu berada di halaman rumahnya. Setiap kali ia menjadi ngeri, apabila teringat olehnya akan kematian suaminya, ayah Bramanti. Justru karena ayah Bramanti memiliki ilmu kanuragan, sehingga ia tidak pernah menghindari pertengkaran.

Sebagai seorang anak yang patuh kepada gurunya dan kepada orang tuanya, maka Bramanti masih mencoba menahan hati. Supaya ia tidak kehilangan pengamatan diri, maka ia lebih baik selalu berada di rumahnya. Di bawah pohon sawo, menganyam wuwu atau berbaring di kandang apabila ia tidak mempunyai pekerjaan yang lain.

Namun akhirnya ia menjadi jemu juga untuk selalu berada di dalam lingkungan halaman. Kawannya yang sering datang mengunjunginya adalah Panjang dan kadang-kadang Ki Tambi. Namun apabila keduanya kemudian pergi, maka Bramanti kembali merasa tercencang oleh kesepian.

Satu-satunya kawannya adalah pedang pendek yang disembunyikannya di dalam kandang. Namun pedang itu kemudian harus disimpannya kembali apabila ia berada di kebun atau di halaman. Yang selalu ada di tangannya adalah sebilah parang pemotong kayu, atau cangkul atau bahkan sapu lidi.
Namun sampai juga saatnya, Bramanti tidak dapat bertahan lagi. Ia tidak dapat mencegah lagi keinginannya untuk keluar barang sekejap dari halaman rumahnya. Karena itu, maka ia minta ijin kepada ibunya untuk pergi ke sungai, mencuci pakaiannya yang kotor.

“Kenapa tidak kau cuci di rumah saja Bramanti? Bukankah sumur kita tidak kering?”

“Aku ingin melihat-lihat ibu. Sudah agak lama aku tidak keluar rumah. Aku ingin mandi sambil berjemur seperti ketika aku masih kanak-kanak.”

“Tetapi jangan terlampau lama Bramanti. Dan sebaiknya kau tidak usah pergi ke bendungan. Di sana selalu banyak orang yang akan dapat membuat persoalan.”

“Aku tidak pernah pergi ke bendungan. Lebih baik aku mencuci dan mandi disebelah pedesaan ini.”

“Baik. Dan hati-hatilah. Jangan membuat persoalan apapun dengan siapapun. Kau masih belum dapat diterima dengan baik oleh orang Kademangan ini.”

“Ya bu.”

Namun peringatan ibu nya itu memang membuat Bramanti menjadi ragu-ragu. Apakah tidak lebih baik ia tinggal di rumah, berbaring di kandang atau menganyam keranjang?”

“Sebentar saja,” desisnya.

Bramanti pun kemudian meninggalkan halaman rumahnya membawa sehelai kain panjang selain yang dipakainya untuk dicuci. Perlahan-lahan ia melangkah, menyusur jalan sempit yang akan sampai ke sudut desa. Kemudian dilangkahinya parit kecil yang membujur sepanjang jalan. Lalu langkahnya terayun di atas pematang yang akan sampai ke tanggul sungai.

Sekali-kali Bramanti menarik nafas. Sinar matahari pagi yang menjamah punggungnya yang telanjang terasa semakin hangat. Burung bangau yang berdiri dengan sebelah kakinya di sepanjang pematang, menghambur berterbangan. Namun kemudian satu persatu mereka hinggap lagi di atas pematang menunggu mangsanya yang meloncat dari rerumputan.

Bramanti menebarkan pandangan matanya, menyapu batang-batang padi yang sedang menghijau. Sekali ia menarik nafas dalam-dalam sambil berdesah. “Hasil panen ini, setiap kali selalu diambil oleh orang-orang Panembahan Sekar Jagat. Apabila beberapa orang petani berhasil menabung dan membeli barang-barang berharga, maka mereka akan menjadi sasaran yang menyenangkan.”

Bramanti menggeleng-gelengkan kepalanya, “Apakah hal ini akan berlangsung terus, dan anak-anak muda di Kademangan ini masih tetap tidur? Aku harap Ki Tambi akan berhasil.”
Bramanti tertegun ketika ia mendengar derap seekor kuda. Ketika ia berpaling dilihatnya Panjang berada di atas punggung kudanya berlari menyusur jalan yang baru saja ditinggalkannya, melintas parit.

Bramanti melihat Panjang melambaikan tangannya, dan Bramanti pun mengangkat tangannya pula. Sejenak ia menjadi ragu-ragu. Apakah ada sesuatu yang penting telah terjadi? Panjang tidak terlampau biasa naik kuda di Kademangan sendiri. Karena itu, maka tiba-tiba ia ingin bertemu dengan anak muda itu.

Tetapi Panjang tidak berhenti. Ia berjalan terus meskipun ia masih juga melambai-lambaikan tangannya.

Ketika Panjang menjadi semakin jauh, Bramanti pun meneruskan langkahnya, menyusur pematang pergi kesungai untuk mencuci pakaiannya.

Ketika ia menuruni tebing yang tidak terlampau tinggi, kemudian menginjakkan langkahnya, menyusur pematang pergi ke sungai untuk mencuci pakaiannya.

Ketika ia menuruni tebing yang tidak terlampau tinggi, kemudian menginjakkan kakinya di atas pasir yang hangat, terasa seolah-olah ia menjadi kanak-kanak kembali. Di gusur-gusurnya onggokan pasir tepian dengan kakinya, kemudian dengan sebuah terikan nafas yang dalam ia menjatuhkan dirinya duduk menjelujur di atas pasir itu.

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia berdiri dan berjalan ke air yang jernih yang mengalir di antara batu-batuan yang berserakan.

Bramanti pun kemudian membuka kainnya, sehingga ia tinggal memakai celana dalamnya yang panjang sampai ke lutut. Kemudian kain yang baru saja dipakainya itu pun dicelupkannya ke dalam air, dan kemudian dicucinya dengan lerak. Sedang kainnya yang lain diletakkannya di atas pasir yang kering.
Sejenak Bramanti berendam di dalam air beserta sisa pakaiannya. Sambil mencuci kain panjangnya ia mandi. Alangkah segarnya. Seolah-olah semua perasaan lelah dan letih hilang hanyut bersama arus sungai yang bening itu.

Namun tiba-tiba saja Bramanti itu terperanjat. Ketika ia menengadahkan wajahnya, dilihatnya dua orang berdiri di atas tanggul sambil bertolak pinggang. Salah seorang dari mereka adalah Temunggul.

Sejenak Bramanti menahan nafasnya. Ia tidak menyangka bahwa Temunggul akan mendapatkannya.

Sekilas terbayang apa yang telah terjadi ditepi sungai ini untuk beberapa hari yang lampau. Ketika tiba-tiba saja ia bertemu dengan Ratri, dan kemudian dengan Temunggul.

Selain Temunggul dan Ratri, ia adalah orang yang ketiga yang mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi. Ketika ia mendengar orang-orang mempercakapkan Ratri dan Temunggul yang seakan-akan sedang bergurau dan bekerjaan di atas tanggul sungai sehingga Ratri tergelincir, ia dapat menebak dengan tepat, apakah yang sebenarnya telah terjadi. Dan kini tiba-tiba Temunggul itu telah berada di atas tanggul pula.

Tetapi Bramanti kemudian, pura-pura tidak memperhatikannya. Seakan-akan ia tidak mempunyai persoalan sama sekali dengan Temunggul dan kawannya yang seorang itu. Dengan demikian, maka Bramanti pun melanjutkan kerjanya membersihkan dirinya sambil mencuci kain panjangnya.
Temunggul melihat sikap Bramanti dengan wajah yang tegang. Dan tiba-tiba sja ia berkata lantang, “Apa kerjamu disini Bramanti?”

Bramanti berpaling. Jawabnya kemudian, “Aku sedang mandi dan mencuci pakaian seperti apa yang sedang kau lihat Temunggul.”

Temunggul memandangnya dengan penuh kebencian. Kemudian bibirnya bergerak membuat sebuah senyuman yang kecut.

“Aku tahu apa yang sebenarnya kau lakukan,” desisnya.

Bramanti mengerutkan keningnya. Seperti di luar sadarnya ia bertanya, “Apakah yang aku lakukan selain mencuci pakaian?”

“Jangan berpura-pura,” sahut Temunggul.

“Aku tidak mengerti apa yang kau maksudkan.”

Sekali lagi Temunggul tersenyum. Senyum yang kecut. “Jadi begitulah yang sering kau lakukan?”

Dalam kebingungan Bramanti mengangguk, “Ya. Beginilah.”

“Setiap kali tanpa aku ketahui?”

“Apakah untuk melakukannya aku harus memberitahukannya kepadamu?”

“Diam,” tiba-tiba Temunggul membentak. “Kau berpura-pura tidak mengerti maksudku. Tetapi jangan mencoba ingkar. Kau akan terjerat oleh janjimu sendiri. Jangan menyesal.”

Bramanti menjadi bingung. “Apalagi salahku sekarang?” pertanyaan itu telah melonjak di dalam dadanya. “Seakan-akan hampir setiap langkahku dianggap bersalah.” Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Temunggul itu.

Karena Bramanti tidak segera menjawab, maka Temunggul mendesaknya, “He, kenapa kau diam saja. Ayo katakan, bahwa kau telah melanggar janjimu. Dan pelanggaran itu akan berakibat jauh bagimu.”

Bramanti yang benar-benar tidak mengerti maksud Temunggul masih bertanya-tanya di dalam hati, dan bahkan akhirnya dilontarkannya pertanyaan itu, “Apakah salahku Temunggul? Apa salahku?”

“Kau masih berpura-pura saja Bramanti. Jangan menunggu aku kehilangan kesabaran,” Temunggul menggeram. “Cepat naik kemari.”

“Aku belum selesai.”

“Cepat naik kemari,” Temunggul membentak semakin keras.

“Maaf. Aku harus menyelesaikan pekerjaanku ini dahulu. Aku masih harus menjemur cucianku dan celanaku.”

“Jangan membantah lagi. Naik.”

Terasa dada Bramanti bergetar. Sudah terlampau lama ia mengorbankan harga dirinya. Sebagai seorang laki-laki, ia tidak akan dapat menerima perintah itu begitu saja. Tetapi setiap kali ia selalu dibayangi oleh wajah ibunya dan pesan-pesan gurunya.
Sejenak Bramanti dicengkam oleh kebingungan. Namun akhirnya ia menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia berdiri dan dengan pakaian yang basah ia berjalan perlahan-lahan di atas pasir tepian.

“Ayo cepat, naik.”  Bramanti tidak membantah lagi. Meskipun ia tidak dapat melenyapkan singgungan-singgungan di dalam dadanya, tetapi ia melakukan perintah itu.

Dengan hati-hati ia naik. Dirambatinya tebing yang curam, meskipun tidak begitu tinggi. Kemudian dengan tubuh dan pakaiannya yang basah ia berdiri dihadapan Temunggul yang masih bertolak pinggang.

“Bramanti,” geram Temunggul. “Apakah kau masih ingin berpura-pura terus.”

“Aku tidak berpura-pura Temunggul. Tetapi aku benar-benar tidak mengerti, apakah yang sebenarnya kau maksudkan.”

Temunggul menjadi semakin marah. Sekali lagi ia membentak, “Jangan bermain gila terhadapku Bramanti. Aku dapat berlaku sopan, tetapi aku juga dapat berlaku kasar.”

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Dahinya berkerut ketika ia melihat dua orang lagi kawan Temunggul berjalan mendekatinya.

“Apakah anak itu bertingkah?” bertanya salah seorang daripadanya.

“Ia masih berpura-pura,” jawab Temunggul. “Ia sama sekali tidak merasa bersalah,” kemudian kepada Bramanti ia bertanya, “Betulkah begitu? Kau tidak merasa bersalah?”

“Bukan aku tidak merasa bersalah, Temunggul. Tetapi aku belum mengetahui, apakah kesalahanku. Kalau kau menunjukkannya, aku kira aku akan segera mengerti.”

Sekali lagi Temunggul menggeram. Namun ia berkata juga, “Kau berpura-pura mandi dan mencuci pakaianmu Bramanti, tetapi agaknya kau sedang menunggu gadis-gadis lewat. Agaknya sudah menjadi kebiasaanmu untuk mengganggu gadis-gadis.”

Tuduhan itu serasa bara api yang menyengat telinga Bramanti. Kini ia menyadari keadaan yang dihadapinya. Kini ia mengerti, apakah sebenarnya yang dimaksud Temunggul. Agaknya meskipun tidak disebutkan, Temunggul sangat berkeberatan atas pertemuannya dengan Ratri di tempat ini beberapa waktu yang berlalu.

“Nah, apakah katamu sekarang?” desis Temunggul.

Bramanti tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah Temunggul yang telah menjadi merah, wajah kawan-kawannya yang tegang, dan ketika diedarkannya pandangan matanya ke sekitarnya, dilihatnya satu dua orang sedang bekerja di sawah.

“Tidak ada kesempatan lagi bagimu Bramanti,” geram Temunggul. “Kau harus menerima akibat. Selama ini kita berusaha melindungi gadis-gadis kita dari tangan-tangan orang Panembahan Sekar Jagat, ternyata kau sendiri akan melakukannya.”

“Temunggul,” jawab Bramanti, “Apakah kau pernah melihat aku melakukannya seperti apa yang kau katakan?”

Pertanyaan itu agak membingungkan Temunggul. Namun kemudian ia menjawab kasar, “Jangan banyak bicara. Kau harus ikut kami. Jangan mencoba melakukan kebodohan.”

“Pakaianku masih basah,” Bramanti mencoba mencari dalih.

“Aku tidak peduli,” jawab Temunggul. “Kau harus ikut aku.”

“Kemana?”

“Jangan bertanya.”

Bramanti mengerutkan keningnya. Apakah ia harus menuruti kemauan Temunggul, mengikutinya kemana ia pergi? Meskipun tidak pasti, namun Bramanti dapat membayangkan apa yang akan terjadi atas dirinya.

“Cepat,” Temunggul hampir berteriak.

“Tetapi kainku?”

“Cepat ambil. Kemudian ikuti aku.”

Bramanti yang masih mencoba untuk tidak membuat keonaran tidak berusaha membantah lagi. Ia pun kemudian turun ke tepian mengambil kainnya yang basah dan melingkarkan kainnya yang kering di atas celananya yang basah. Kemudian ia merangkak kembali naik ke tanggul.

“Ayo, ikuti kami.”

Bramanti tidak menjawab. Ia mengikuti saja langkah Temunggul, sedang kawan-kawannya berjalan dibelakangnya.

Dada Bramanti menjadi semakin berdebar-debar. Apalagi ketika Bramanti mengetahui kemana mereka berjalan. Namun demikian ia masih bertanya, “Kemana kita, Temunggul?”

“Kau tahu, jalan ini akan sampai kemana? Kita menyusur parit itu, kemudian berbelok ke kiri di atas jalan pematang.”

“Ke gerojokan di bawah bendungan?”

“Kau menebak tepat.”

Dada Bramanti berdesir tajam. Ia menyadari apa yang akan terjadi. Gerojokan di bawah bendungan itu jarang sekali didatangi orang. Karena itu, maka segera terbayang, Temunggul akan melepaskan kemarahannya itu tanpa diganggu orang.

“Gila,” desis Bramanti. “Kalau aku menjadi gila pula, maka aku akan mengalami kesulitan.”

Tetapi Bramanti tidak mendapat kesempatan untuk menolak. Ia harus mengikuti langkah kaki Temunggul. Pergi ke bawah bendungan ke gerojogan.

Sejenak kemudian mereka pun telah meniti pematang yang akan sampai ke tanggul sungai di sebelah gerojogan itu. Disisi tebing sungai itu agak tinggi dan terjal, sehingga jarang sekali orang yang memerlukan turun, apabila tidak mempunyai kepentingan apapun.

Semakin dekat dengan gerojogan, dada Bramanti menjadi semakin berdebar-debar. Namun ia masih sempat mengendapkan perasaannya. Dan bahkan ia selalu berkata di dalam hatinya, “Aku harus mengendalikan diri sebaik-baiknya.”

Tetapi ketika mereka telah sampai di atas tanggul, Bramanti menjadi ragu-ragu atas dirinya sendiri. Kalau ia tidak berhasil mengendalikan perasaannya, maka akibatnya akan menghapuskan semua usaha yang pernah dirintisnya. Karena itu, maka ketika ia telah berdiri di atas tanggul, ia berhenti.

“Cepat kau turun Bramanti. Aku pun akan segera turun.”

Bramanti masih tetap berdiri diam.

“Cepat,” teriak Temunggul.

“Apa yang akan kalian lakukan atasku?” bertanya Bramanti.

“Itu bukan persoalanmu. Terserah kepada kami. Kau sudah melanggar janjimu. Aku hanya akan sekadar memberi peringatan kepadamu. Berterima kasihlah kau, bahwa aku masih berbaik hati, memberimu sekadar peringatan. Ayo cepat.”

Bramanti masih tetap berdiri tegak.

“Jangan membuat aku semakin marah Bramanti. Cepat turun.”

Tiba-tiba Bramanti menggelengkan kepalanya. Gumamnya seakan-akan kepada diri sendiri. “Aku tidak ingin turun.”

Bramanti tidak menyahut. Tetapi wajahnya menjadi tegang. Ketegangan yang tumbuh dari dalam dadanya.

“Satu, dua, tiga…..” setiap bilangan telah membuat dada Bramanti semakin tegang. Dan bilangan itu pun semakin naik juga, “empat,….. lima.”

Bramanti masih tetap berdiri saja ditempatnya. Sehingga karena itu, maka Temunggul pun telah kehilangan kesabarannya. Tebing itu memang cukup dalam, tetapi Temunggul telah memperhitungkannya, apabila Bramanti terjerumus, ia tidak akan mati karenanya. Karena itu, maka dikejapkannya matanya kepada salah seorang kawannya.

Kawannya mengerti maksud Temunggul. Dengan serta merta ia meloncat sambil menjulurkan tangannya ke arah Bramanti yang berdiri tepat di atas tanggul.

Bramanti memang sudah menduga, bahwa Temunggul akan melakukannya, meskipun ia meminjam tangan orang lain. Tetapi Bramanti sama sekali tidak ingin jatuh terguling dan terbanting di tepian meskipun di alasi dengan pasir. Tubuhnya pasti akan terluka oleh goresan batu-batu padas pada lereng yang terjal.

Karena itu, hampir di luar sadarnya Bramanti berusaha untuk menghindari hal itu.

Kawan Temunggul yang berusaha mendorong Bramanti, sama sekali tidak melihat Bramanti bergerak. Karena itu, maka tanpa ragu-ragu lagi ia maju beberapa langkah lagi dan dengan sekuat tenaganya ia berusaha melempar Bramanti.

Tetapi orang itu sama sekali tidak mengetahui, bahwa Bramanti telah membuat suatu perhitungan yang tepat. Kalau ia jatuh terdorong oleh kekuatan orang lain, dan kemudian berguling ditebing itu, ia pasti akan terluka. Karena itu, maka ketika tangan kawan Temunggul itu menyentuh tubuhnya, Bramanti justru melemparkan dirinya sendiri meloncat ketepian di bawah. Dengan demikian ia dapat mengatur dirinya dan sama sekali tidak menyentuh batu-batu padas tebing sungai yang agak tinggi itu.

Namun hal itu sama sekali tidak diduga oleh kawan Temunggul yang berusaha untuk mendorongnya, bahkan oleh Temunggul sendiri dan kawan-kawannya yang lain. Dengan demikian, maka tenaganya sama sekali tidak menemukan tahanan apapun. Maka, tanpa dapat menahan dirinya sendiri, orang itupun terjerumus pula masuk ke dalam sungai. Karena ia sama sekali tidak bersiap untuk mengalami hal serupa itu, maka tubuhnya itu pun terguling di atas batu-batu padas tebing, untuk kemudian terbanting di atas pasir.

Melihat hal itu Temunggul dan kawan-kawannya yang lain terkejut bukan kepalang. Namun justru sejenak mereka seakan-akan membeku ditempatnya. Mereka melihat dengan mulut ternganga, Bramanti meloncat turun. Ketika ia jatuh diatas kedua kakinya ia berhasil berdiri tegak tanpa mengalami cidera apapun. Kemudian disusul oleh tubuh kawan Temunggul, yang jatuh seperti seonggok tanah liat.

Sebelum Temunggul dapat berbuat sesuatu, ia masih melihat Bramanti berlari-lari mendapatkan kawannya yang terjatuh itu. Kemudian menolongnya, menyandarkan pada sebuah batu padas di tebing. Dengan kainnya ia membersihkan wajah orang itu yang penuh dengan pasir dan tanah berlumpur.

“Gila kau Bramanti,” tiba-tiba Temunggul berteriak. Suara teriakan itu telah mengejutkan Bramanti, sehingga orang yang sedang ditolongnya itu dilepaskannya. Beberapa langkah ia menjauhi sambil memandang ke atas tanggul.

Namun kemudian disadarinya, bahwa sebentar lagi Temunggul dan kawan-kawannya yang lain pasti akan turun pula. Karena itu, maka daripada terjadi keributan, lebih baik baginya untuk meninggalkan tempat itu.

Dengan demikian, maka Bramanti pun kemudian berlari meninggalkan orang yang masih duduk dengan lemahnya bersandar sebongkah batu padas yang berwarna kehijau-hijauan.

Dada Temunggul berdesir melihat Bramanti masih sempat melarikan dirinya. Karena itu, dengan serta merta ia berteriak, “He, tangkap anak itu. Jangan biarkan ia lari.”

Tetapi kawan Temunggul yang bersandar batu padas dibawah, sama sekali sudah tidak berdaya. Apalagi menangkap Bramanti, sedang untuk bernafas pun terasa betapa sukarnya.

Dengan demikian, maka tidak seorang pun yang dapat menahan Bramanti. Ia berlari menyusur sungai. Meloncat dari batu yang satu ke batu yang lain, dan kemudian menyeberangi arus yang tidak terlampau deras. Semakin lama semakin jauh. Ketika Bramanti kemudian memanjat tebing diseberang dan naik ke bendungan, maka Temunggul pun baru menyadari seluruh keadaan.

“Anak setan,” ia menggeram. “Marilah kita tolong anak itu.”

Temunggul dan kawan-kawannya kemudian menuruni tebing yang agak curam. Dengan dada yang berdebar-debar mereka mendekati kawannya yang hampir menjadi pingsan. Beberapa bagian tubuhnya terluka oleh goresan batu-batu padas yang menjorok di tebing.

“Bagaimana hal ini dapat terjadi?” bertanya Temunggul.

Kawannya yang terluka itu menggelengkan kepalanya. “Entahlah,” jawabnya.

“Kau kurang hati-hati,” sahut yang lain.

“Tidak,” potong Temunggul. “Memang Bramanti adalah seorang yang sangat licik. Kali ini ia berhasil melepaskan diri dari tanganku. Tetapi tidak lain kali.”

“Aku telah dilukainya,” desis orang yang terluka itu. “Aku harus membalasnya. Aku tidak akan dapat menunggu terlampau lama. Apabila aku sudah baik, aku akan segera mencarinya. Kemana saja. Kalau perlu aku akan datang ke rumahnya.”

Temunggul mengerutkan keningnya. Dan seorang kawannya yang lain berkata pula. “Aku sependapat. Kalau perlu kita datangi rumahnya. Anak itu kita ambil saja dan kita bawa kemana kita inginkan. Tetapi hati-hati. Ternyata ia memang sangat licik.”

Anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba saja Temunggul berkata, “Kita pergi ke Kademangan. Mereka akan melihat kau terluka. Kita dapat mengatakan apa saja. Misalnya kita dapat mengatakan, bahwa Bramanti telah mulai dengan usaha pembalasan dendamnya, dengan mendorong kau ke dalam jurang ini. Dengan demikian maka pembalasan kita kepadanya akan sepengetahuan Ki Demang dan Ki Jagabaya. Sebab apabila kita bertindak sendiri, mungkin oleh Ki Jagabaya kita dianggap bersalah.”

Kawan-kawannya berpikir sejenak. Salah seorang dari mereka berkata, “Tetapi Bramanti bukan seorang anak yang bisu. Ia dapat mengatakan yang lain. Ia dapat mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.”

“Tidak mengapa. Aku yakin bahwa mereka akan lebih mempercayai kita daripada Bramanti.” sahut Temunggul. “Nah, bagaimana? Kita tidak perlu membalasnya dengan bersembunyi-sembunyi. Akulah yang akan melakukannya dihadapan Ki Demang, Ki Jagabaya dan dihadapan orang-orang Kademangan Candi Sari. Biarlah mereka melihat, bahwa kita memang tidak menganiayanya. Nah, aku kira Bramanti akan benar-benar menjadi jera dan tidak akan berani berbuat lagi.”

“Kalau saja Ki Demang dan Ki Jagabaya mempercayai kita,” gumam salah seorang kawannya.

“Aku yakin,” sahut Temunggul, kemudian kepada kawannya yang terluka ia bertanya, “Bagaimana pendapatmu?”

“Baik. Aku sependapat.” anak muda itu berhenti sejenak lalu. “Tetapi bagaimana dengan aku sekarang? Luka-lukaku terasa terlampau pedih. Mungkin tangan kiriku terkilir pula. Aku sama sekali tidak tahu bahwa Bramanti mempunyai akal yang begitu licik dan licin.”

“Oh,” Temunggul berjongkok di samping kawannya itu, “Marilah aku bersihkan luka-lukamu dengan air sungai. Kemudian kita pulang bersama-sama untuk mencari obat.”

Anak muda itu tidak menjawab. Tetapi ketika Temunggul dan kawan-kawannya mencoba mengangkatnya, ia menyeringai menahan sakit.

“Tahankan,” desis Temunggul. “Sebentar lagi kau akan mendapat kesempatan untuk membalas.”

“Aku akan membuatnya cacad seumur hidupnya.”

Temunggul pun kemudian memapah orang itu pergi ke air yang mengalir gemericik di sela-sela batu. Kemudian meletakkannya duduk di atas sebuah batu. Seperti memandikan anak-anak. Temunggul membersihkan anak muda itu. Menghilangkan pasir dan lumpur dari tubuhnya, mencuci luka-lukanya yang berdarah dan memijit-mijit punggungnya yang serasa patah
perlahan-lahan.

Mereka memerlukan waktu yang cukup lama untuk menunggu anak itu mampu berdiri dan berjalan sambil bersandar kepada kawannya. Dengan susah payah mereka berjalan menyusur sungai, naik ke bendungan yang tidak setinggi tebing, kemudian dari bendungan mereka merayap perlahan-lahan ke atas tanggul.
Temunggul menarik nafas ketika mereka berdiri di atas tanggul sungai itu. Kemudian dengan lantang ia berkata, “Sekarang kita langsung ke Kademangan,”

“Kenapa?”

“Biarlah setiap orang Kademangan melihat sendiri luka-luka ditubuhmu. Biarlah mereka melihat darah itu. Dengan demikian maka hati mereka akan segera terbakar daripada mereka melihat kau kelak, apabila kau sudah sembuh.”

“Tetapi punggungku sakit sekali.”

“Justru karena itu.”

Anak muda yang terluka itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata, “Baik. Baiklah. Aku sependapat.”

Maka mereka itu pun kemudian berjalan perlahan-lahan menuju ke Kademangan. Disepanjang jalan mereka telah bersepakat untuk membuat ceritera palsu tentang Bramanti. Apapun yang mereka lakukan namun mereka ingin mendapat kesempatan untuk melepaskan dendam mereka kepada Bramanti.

Ternyata usaha mereka sebagian terbesar dapat berhasil. Orang-orang yang kebetulan melihat Temunggul memapah seorang kawannya segera bertanya, apakah sebabnya kawannya itu terluka.

“Kami akan mengatakannya di Kademangan,” jawab Temunggul.

“Kenapa mesti di Kademangan?” bertanya orang itu.

Temunggul menggelengkan kepalanya, “Ada sesuatu yang kami anggap penting.”

Orang itu tidak bertanya lagi. Tetapi ia bergumam di dalam hatinya. “Seandainya aku tidak mempunyai keperluan lain, aku akan memerlukan pergi ke Kademangan.”

Namun demikian, ada juga satu dua orang yang memerlukan pergi untuk sekadar mendengar sebab dari luka-luka itu.

Di Kademangan, Ki Demang segera memanggil orang-orang terdekat. Termasuk Ki Jagabaya atas permintaan Temunggul. Beberapa orang pengawal dan anak-anak muda yang lain.

“Katakan Temunggul,” berkata Ki Demang kemudian. “Kami ingin segera mengetahui, apakah yang telah terjadi. Kalau hal ini tidak kau anggap penting, aku kira anak ini tidak akan kau bawa kemari selagi ia masih menyeringai kesakitan.”

“Ya Ki Demang, justru ia masih dalam keadaannya, ia aku bawa kemari, supaya Ki Demang, Ki Jagabaya dan orang-orang yang lain melihat apa yang telah terjadi.”

“Ya, katakanlah.”

“Ki Demang, Ki Jagabaya dan kawan-kawan,” berkata Temunggul, yang meskipun agak gemetar, namun kemudian ia dapat berbicara dengan lancar juga. “Ternyata Bramanti telah mulai.”

“Apa maksudmu?”

“Seperti yang kita duga semula. Ia telah mulai melakukan balas dendam. Yang pertama-tama menjadi sasaran adalah anak ini. Bramanti menyangka bahwa ayahnya ikut serta melakukan pembunuhan kira-kira sepuluh tahun yang lalu.”

Dada Ki Demang berdesir. Apalagi Ki Jagabaya. Wajahnya segera menjadi merah padam. “Kenapa anak itu?” bertanya Ki Jagabaya.

“Ia terperosok ke dalam pereng sungai di gerojokan,” jawab Temunggul.

“Ya, kenapa?”

“Itulah yang akan kami katakan. Bramanti lah yang mendorongnya. Selagi anak itu berdiri di tanggul, tanpa diketahuinya Bramanti mendekatinya. Tiba-tiba ia didorong masuk. Untunglah, bahwa ia masih menyadari keadaannya, sehingga ia mampu menempatkan dirinya. Meskipun demikian, inilah keadaannya.”

“Setan alas,” Ki Jagabaya menggeram. “Bukankah ia sudah berjanji, bahwa ia tidak akan melepaskan dendamnya itu?”

“Tetapi sekarang Ki Jagabaya melihatnya sendiri.”

Wajah Ki Jagabaya menjadi seakan-akan terbakar. Hampir saja ia langsung meloncat ke rumah Bramanti, seandainya Temunggul tidak berkata, “Nah, marilah kita bicarakan, apakah yang sebaiknya kita lakukan.”

“Kenapa ia memilih anak itu?” bertanya Ki Demang.
“Agaknya Bramanti tidak memilih. Adalah suatu kebetulan ia melihatnya berdiri di atas tanggul. Diam-diam ia mendekatinya dan mendorongnya jatuh. Kalau anak itu mati, maka rahasia itu tidak akan diketahui oleh orang lain.”

“Bodoh,” potong Ki Jagabaya. “Kelincipun tidak akan mati. Paling parah, adalah karena goresan-goresan batu-batu padas itu.”

“Bramanti memang anak licik yang bodoh. Ia menginginkan anak itu mati seketika. Orang akan menganggapnya sebagai suatu kecelakaan saja. Demikian ia akan mencari kesempatan berturut-turut.”

“Aku akan menangkapnya,” geram Ki Jagabaya.

“Tidak perlu Ki Jagabaya. Aku akan dapat melakukannya. Aku adalah pemimpin pengawal Kademangan ini. Aku akan mengajarinya agar ia tidak melakukan untuk lain kali.”

Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menggeram, “Akulah yang bertanggung jawab.”

“Tetapi masalah anak-anak serahkanlah kepada anak-anak. Aku akan menyelesaikannya,” Temunggul berhenti sejenak. “Sebenarnya aku akan segera menyelesaikannya. Tetapi aku memerlukan datang kemari untuk meminta dukungan atas tindakanku. Sekadar untuk diketahui dan dibenarkan.”

Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berpaling kepada Ki Demang.

“Biarlah anak-anak menyelesaikannya,” desis Ki Demang. “Tetapi jangan kita biarkan mereka pergi sendiri. Kadang-kadang aku bercuriga, apakah Bramanti itu bukan sekadar seseorang yang dipergunakan oleh orang lain di Kademangan ini.”

“Ya. Aku pun mencurigainya,” sahut Ki Jagabaya. “Bahkan mungkin ia adalah seseorang yang sengaja ditanam oleh Panembahan Sekar Jagat, karena kebetulan ia orang Kademangan ini.”

Ki Demang menggeleng. Tetapi ia tidak berkata apapun juga tentang itu. Bahkan kemudian ia berkata, “Marilah, aku, Ki Jagabaya dan beberapa orang akan melihatnya.”

“Terima kasih Ki Demang. Aku akan minta ijin dan kesempatan untuk memberinya peringatan dengan caraku.”

Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah. Tetapi kami yang tua-tua tidak akan melepaskan kalian.”

“Aku akan mengambilnya di rumahnya.”

“Terserah.”

Sebelum mereka berangkat, seorang naik ke pendapa Kademangan, lalu duduk di antara para pengawal. Sejenak ia berdiam diri, namun kemudian sambil berbisik ia bertanya kepada seseorang yang terdekat. “Apakah yang telah terjadi?”

Maka diceriterakannya apa yang dikatakan oleh Temunggul, sehingga anak muda itu, Panjang, terperanjat.

“Aku melihatnya ketika ia pergi ke sungai,” Panjang menjadi ragu-ragu. “Tetapi apakah betul Bramanti melakukannya?”

Dalam keragu-raguan itu ia pun kemudian berdiri karena beberapa orang yang lainpun berdiri juga.

“Kemana kita akan pergi?” bertanya Panjang kepada orang disebelahnya.

“Mengambil Bramanti,” jawab orang itu.

Panjang mengerutkan keningnya. Tetapi ia kemudian diam saja. Meskipun demikian, ia tidak begitu yakin, bahwa sebenarnya demikianlah yang telah terjadi. Tetapi ia tidak akan dapat mengatakannya.

“Begitu besar perhatian orang-orang Kademangan ini sehingga Ki Demang dan Ki Jagabaya memerlukan pergi,” Panjang bergumam di dalam hatinya. “Kenapa Ki demang tidak memerintahkan saja salah seorang pergi untuk mengambil Bramanti?”

Namun sebelum ia menyatakan keheranannya itu, orang disebelahnya telah mendahului. “Ki Demang dan Ki Jagabaya bercuriga. Apakah tidak ada kekuatan lain dibelakang Bramanti.”

Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya. Pertanyaan itulah agaknya yang telah menarik perhatian para pemimpin dan bebahu Kademangan ini.

Maka sejenak kemudian sebuah iring-iringan kecil telah keluar dari halaman Kademangan, berjalan dengan tergesa-gesa ke rumah Bramanti. Anak muda yang terluka itu pun ikut serta, meskipun ia masih harus dipapah oleh orang lain.

“Beberapa hari yang lalu, Ratri juga tergelincir di pereng sungai itu,” tiba-tiba saja Panjang berdesis.

“Tetapi itu adalah salahnya sendiri. Ia berlari-lari dan bekejaran di sepanjang tanggul. Kemudian ia tergelincir. Untung bahwa tebing itu tidak sedalam tebing digerojogan.”

Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kepalanya yang terangguk-angguk itu telah dipenuhi oleh bermacam-macam persoalan dan pertimbangan. Apalagi apabila ia menghubungkan Bramanti dengan dugaannya selama ini, maka apa yang terjadi itu sama sekali tidak masuk di akalnya.

Meskipun demikian Panjang berjalan saja di dalam iring-iringan kecil itu menuju ke rumah Bramanti.

Sementara itu Bramanti dengan nafas terengah-engah masuk ke dalam kandangnya. Segera ia menghempaskan dirinya sambil memijit-mijit kakinya. Meloncat sedemikian tingginya, terasa juga kakinya agak menjadi sakit.

“Hem,” ia kemudian berdesah. “Aku kira pasti masih akan ada akibat dari permainan ini,” desisnya.

Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya diluar sadarnya. Namun ia menjadi bimbang. Apakah yang sebaiknya dilakukan, apabila sesuatu akan terjadi?

Tanpa dikehendakinya, Bramanti menengadahkan wajahnya. Meskipun ia tidak melihat sesuatu, namun ia tahu benar, bahwa di atas belandar itu ia menyimpan sebuah pedang pendek.

Bramanti terkejut ketika ia mendengar langkah seseorang mendekati kandangnya. Kemudian sebuah kepala tersembul dari balik pintu.

“Oh,” Bramanti pun berdiri sambil mempersilakan. “Apa paman akan masuk ke dalam kandang ini?”

Ki Tambi tersenyum. Jawabnya, “Apa salahnya, bukankah aku sudah sering masuk dan duduk di dalam kandang ini.”

Bramanti pun mencoba tersenyum pula, meskipun senyumnya terasa hambar.

“Apakah paman akan bertemu ibu?”

“Tidak, kali ini tidak. Aku hanya sekadar mampir,” Ki Tambi berhenti sejenak. Tatapan matanya tiba-tiba hinggap pada pakaian Bramanti yang agak tidak wajar. Meskipun ia memakai kain, tetapi kain itu telah menjadi basah.

“Paman melihat pakaianku yang basah?”

“Ya. Apakah kau terperosok ke dalam parit?”

Bramanti menggeleng, “Tidak paman. Tidak hanya sekadar parit. Tetapi aku telah terjerumus ke dalam suatu kesulitan.”

Ki Tambi mengerutkan keningnya. “Apakah yang telah terjadi?”

Bramanti menarik nafas. Kemudian diceriterakannya apa yang telah terjadi atasnya, dan apa yang telah dilakukannya.

Ki Tambi mengerutkan keningnya. Hampir saja ia berteriak kegirangan. Dengan demikian ia mendapat bukti bahwa Bramanti memang bukan orang kebanyakan meskipun caranya berceritera terlampau sederhana.

“Tetapi perhitungannya yang tepat, dan kemampuannya meloncat dari tebing tanpa mengalami gangguan apapun adalah suatu pertanda bahwa ia memang luar biasa,” desis Ki Tambi di dalam hatinya.

“Paman, aku kira Temunggul dan kawan-kawannya tidak akan berhenti sampai disini. Aku kira mereka akan mendendam. Setiap saat dendam itu akan dapat meledak.”

Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, memang mungkin. Lalu apakah yang akan kau lakukan seandainya mereka akan berbuat sesuatu atasmu?”

“Itulah yang akan aku tanyakan kepada paman. Apakah yang sebaiknya aku lakukan?”

“Melawan mereka,” sahut Ki Tambi.

“Mana mungkin paman?” suara Bramanti melonjak, lalu nadanya merendah. “Aku akan mengungsi saja paman. Aku tidak mau mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan.”

Ki Tambi mengerutkan keningnya, “Kemana kira-kira kau akan mengungsi?”

“Aku tidak tahu.”

“Apakah kau akan minta perlindungan Resi Panji Sekar?”

Terasa dada Bramanti berdesir. Sepercik keheranan melonjak ke wajahnya, namun kemudian wajah itu menjadi tenang kembali. “Aku belum mengenal Resi Panji Sekar paman.”

Namun Ki Tambi justru tertawa, meskipun ia tidak segera menjawab.

“Kenapa paman tertawa?”

“Tidak apa-apa. Tetapi terserahlah kepadamu. Kalau jalan yang kau anggap paling baik adalah mengungsi, maka pergilah mengungsi. Aku bersedia mengantarmu.”

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Sejenak mereka berdua saling diam diri sehingga kandang itu menjadi sepi.

Sementara itu iring-iringan yang mendatangi rumah Bramanti menjadi semakin dekat. Temunggul yang berjalan paling depan tersenyum di dalam hatinya.

Ia akan mendapat kesempatan melepaskan sakit hatinya kepada Bramanti tanpa dicurigai dan dipersalahkan oleh siapapun. Bahwa sekarang hubungannya dengan Ratri seakan-akan menjadi semakin jauh adalah karena Bramanti itu pula.

“Aku harus membuatnya benar-benar jera,” katanya di dalam hati.

Bramanti yang masih berada di kandangnya sama sekali tidak menyangka, bahwa ekor dari peristiwa itu, dan yang selama ini dicemaskannya, akan begitu cepat terjadi, sehingga ia masih saja duduk dikandangnya.

“Aku akan menghindar saja paman,” terdengar kemudian ia mengeluh. “Aku tidak mau menjadi kambing hitam di Kademangan ini.”

“Lalu kau tinggalkan lagi rumah dan ibumu?”

Bramanti menarik nafas dalam-dalam.

“Aku menjadi bingung, apakah yang sebaiknya aku lakukan?”

“Jangan bingung Bramanti. Lakukanlah menurut kehendakmu. Mana yang baik itulah yang kau lakukan. Mana yang baik menurut pendapatmu tentu.”

“Aku bingung paman.”

“Kau buat sendiri menjadi bingung. Apakah kau akan berusaha mengungsi pula ketika aku mengatakan kepadamu, bahwa pada suatu ketika orang-orang Panembahan Sekar Jagat mungkin sekali akan datang ke rumah ini?”

“Aku memang sudah memikirkannya paman.”

“Dan sekarang ekor dari persoalan ini akan mempercepat langkahmu meninggalkan rumah dan ibumu yang sudah tua?”

Bramanti terdiam. Kepalanya tertunduk dalam-dalam. Namun sekali lagi diluar sadarnya ia menengadahkan kepalanya, memandang ke atas blandar. Tetapi ia tidak melihat sesuatu.

Ketika Bramanti kemudian merenung, maka Temunggul beserta iring-iringannya menjadi semakin dekat. Mereka telah berada di ujung desa tempat tinggal Bramanti. Mereka hanya tinggal melangkah beberapa puluh langkah lagi, kemudian mereka akan segera mengetuk pintu rumah itu apabila pintu itu tertutup.

Seperti pada saat-saat Bramanti baru datang, maka kini mereka tidak hanya akan sekadar memberinya peringatan dan ancaman, tetapi mereka pasti akan berbuat sesuatu.

Sekali-sekali Temunggul tersenyum sendiri. “Ratri harus melihat bahwa aku adalah seorang laki-laki. Aku tidak mau diremehkan dan direndahkan. Ia akan mendengar, suatu saat aku telah berkelahi melawan Bramanti.

Ya, aku akan minta kepada Ki Demang untuk berkelahi seorang melawan seorang kali ini. Aku akan mendapat kepuasan menghajarnya. Kemudian biarlah anak yang terluka itu melepaskan sakit hatinya pula.”

Dalam pada itu, dikandang, dihalaman rumah Bramanti. Ki Tambi berkata, “Sampai kapan kau akan menjadikan dirimu sendiri itu menjadi orang yang paling hina? Kau adalah seorang laki-laki. Berbuatlah seperti seorang laki-laki.”

Bramanti tidak segera menjawab. Sebenarnya di dalam dadanya sendiri telah bergolak maksud untuk lebih dahsyat lagi daripada sekadar sebuah pertanyaan serupa itu. Namun setiap kali ia selalu mencoba mengekang diri.

Yang paling pahit bagi Bramanti adalah setiap tuduhan, bahwa ia akan melakukan balas dendam atas kematian ayahnya. Sebab dengan demikian, maka maksudnya untuk menyatu kembali di dalam masyarakat Kademangannya pasti tidak akan dapat berhasil dengan baik. Sehingga dengan demikian maka jarak antara dirinya dengan orang-orang Kademangan Candi Sari akan menjadi semakin jauh. Lalu, apakah dengan jarak yang semakin jauh itu ia akan dapat berbuat sesuatu untuk Kademangan ini? Apalagi untuk mencuci nama ayah dan keluarganya?

Karena pergolakan di dalam hatinya itulah Bramanti tidak segera menjawab.

“Bramanti,” berkata Ki Tambi. “Adalah baik sekali bahwa seseorang itu rendah hati, menahan diri, berbaik dengan semua orang, tidak sombong, tidak angkuh dan segala macam kelakuan lain menurut orang tua-tua. Tetapi apakah dengan demikian kita akan membiarkan orang lain itu berbuat sekehendak hati atas kita? Temunggul dapat berbuat sesuka hatinya, tetapi tidak melampaui batas. Aku tidak suka dengan perbuatan-perbuatan semacam itu.”

“Ia mempunyai kekuasaan di Kademangan ini paman.”

“O, apakah ia menyangka, bahwa kekuasaannya itu dapat dibuat apa saja sesuka hatinya? Bahkan menyalahgunakan kekuasaan itu?”

Bramanti tidak menjawab. Kepalanya masih saja menunduk.

“Bramanti,” desis Ki Tambi. “Sebenarnya aku menaruh curiga padamu.”

“He,” Bramanti terperanjat. “Apakah yang paman curigai atasku.”

“Tidak dalam arti yang jelek Bramanti. Tetapi sebaliknya.”

Bramanti mengerutkan keningnya. Ditatapnya saja wajah Ki Tambi yang menjadi bersungguh-sungguh.”

“Bramanti,” berkata Ki Tambi kemudian. “Sebenarnya aku menganggap bahwa kau bukanlah seorang seperti yang kau perkenalkan selama ini. Orang yang hanya mampu mengungsi apabila menghadapi masalah yang penting. Yang hanya dapat melarikan diri dan bersembunyi.”

“Aku tidak mengerti paman.”

Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. “Aku menangkap sesuatu padamu. Aku menjadi semakin yakin ketika aku melihat orang Panembahan Sekar Jagat yang terluka itu memandangmu seperti memandang hantu.”

“Ah,” desis Bramanti. “Paman selalu mengada-ada saja.”

“Tidak Bramanti, aku tidak mengada-ada. Aku hanya ingin memperingatkan kau, bahwa keadaan Kademangan ini semakin lama akan menjadi semakin parah. Selain kelakuan anak-anak mudanya sendiri, Panembahan Sekar Jagat pun agaknya akan mengambil sikap yang lebih keras akibat kelakuan orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar itu. Nah, apakah kau masih juga akan selalu berbaring saja di dalam kandangmu dan hanya keluar apabila kau ingini sekadar bermain-main.”

Bramanti tidak menyahut. Tetapi ia menarik nafas dalam-dalam.

Ki Tambi pun kemudian berdiam diri, seolah-olah memberi waktu kepada Bramanti untuk mencernakan kata-katanya di dalam hatinya. Sekali-kali dilihatnya wajah Bramanti yang menjadi semakin berkerut-kerut.

Kandang itu pun kemudian menjadi hening. Keduanya saling berdiam diri, sehingga yang terdengar hanyalah desah nafas mereka, dan sekali gemerisik tangan Ki Tambi menyentuh jerami kering.

Bramanti mengangkat wajahnya ketika ia mendengar suara ibunya yang terbatuk-batuk di dapur, karena asap kayu yang masih belum kering benar. Ibunya yang menjadi semakin tua, dan seolah-olah menjadi jauh lebih tua dari umur yang sebenarnya.

Ibunyalah selain gurunya, yang telah banyak mengekang dirnya. Dan ia tidak mau membuat hati ibunya semakin risau.

Namun tiba-tiba keheningan itu telah dipecahkan oleh suara hiruk pikuk di halaman. Beberapa orang telah memasuki regol dan bahkan sambil berteriak-teriak. “Jangan sampai anak itu lari.”

Ki Tambi dan Bramanti yang sedang berada di dalam kandang terkejut mendengarnya. Tiba-tiba saja keduanya meloncat berdiri.

“Siapa mereka?” desis Ki Tambi.

Bramanti termenung sejenak. Namun kemudian jelas baginya, suara yang paling dikenalnya adalah suara Temunggul.

“Mereka benar-benar datang,” desis Bramanti.

“Begitu cepat,” sahut Ki Tambi.

Bramanti menjadi bingung. Sebenarnya bingung. Karena itu maka dengan suara gemetar ia bertanya, “Apakah yang sebaiknya aku lakukan paman?”

“Terserah kepadamu. Tetapi kau adalah laki-laki. Kau sudah tahu apakah yang sebaiknya dilakukan oleh seorang laki-laki.”

Jawaban Ki Tambi itu menjadi semakin membuat Bramanti semakin bingung sehingga karena itu, maka justru ia berdiri saja mematung.

Ketika suara itu menjadi semakin riuh, maka Ki Tambi lah yang pertama-tama keluar dari dalam kandang. Langkahnya tertegun ketika ia mendengar seseorang berkata, “Itulah dia. Itulah.”

Namun segera disahut oleh yang lain. “Bukan, bukan anak itu.”

Dan yang lain lagi, “Ki Tambi. He, kau berada disini Ki Tambi.”

Ki Tambi tidak menyahut. Perlahan-lahan ia melangkah maju. Sementara itu Temunggul berjalan tergesa-gesa mendapatkan-nya, “Apakah yang paman lakukan disini? Kami mencari Bramanti. Apakah ia ada dirumah?”

Tetapi Ki Tambi tidak menyahut. Ia berjalan terus ke arah Ki Demang yang berdiri di depan regol.

“Paman,” panggil Temunggul. “Kenapa paman diam saja.”

“Aku akan berbicara dengan orang-orang tua,” sahut Ki Tambi.

Temunggul mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menyahut. Meskipun demikian ia mengikuti langkah Ki Tambi mendekati Ki Demang.

“Ki Demang,” berkata Ki Tambi. “Kenapa kau bawa anak-anak ini kemari? Apakah dengan demikian kau sudah berlaku bijaksana?”

“Anak itu perlu peringatan,” yang menyahut adalah Ki Jagabaya. “Kalau dibiarkan maka ia akan membuat malapetaka bagi Kademangan ini.”

“Apakah yang telah dilakukannya?”

“Sebaiknya kau tidak usah ikut campur Ki Tambi. Selama ini kami selalu menghormati kau. Tetapi selanjutnya kau terlalu banyak mencampuri persoalan Kademangan ini,” sahut Ki Demang.

“Aku adalah penduduk Kademangan ini Ki Demang. Aku berhak berbuat sesuatu yang aku anggap bermanfaat bagi Kademangan ini. Karena itu, maka aku pun berkepentingan dengan persoalan kalian, karena itu juga persoalanku.”

“Minggir Ki Tambi,” berkata Ki Jagabaya. “Kau akan mendengar nanti. Persoalan apakah yang tengah kami selesaikan sekarang ini.”

“Tetapi adalah tidak pantas sama sekali, bahwa kalian orang-orang tua, telah membawa anak-anak dalam gerombolan serupa ini di Kademangan kita sendiri.”

“Bukan maksudku,” jawab Ki Demang. “Aku justru ingin mengawasi, apakah yang akan dilakukan oleh anak-anak muda ini. Justru karena aku tidak menghendaki bahwa persoalan ini akan menjadi semakin parah.”

Ki Tambi mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia bertanya, “Apakah yang telah terjadi sehingga kau perlu mengawasi anak-anak itu langsung?”

“Bramanti sudah mulai.”

“Apa yang dilakukannya?”

“Bertanyalah kepada Temunggul.”

Ki Tambi berpaling. Dan sebelum ditanya Temunggul telah berkata, “Lihat paman, anak itu menjadi luka parah ketika tiba-tiba saja Bramanti melemparkannya ke tebing di samping gerojogan.”

“He,” Ki Tambi terperanjat.

“Agaknya Bramanti telah mulai dengan pembalasan dendam yang sebenarnya. Ia menganggap ayah anak itu ikut membunuh ayahnya kira-kira sepuluh tahun yang lalu.”

“Pikiran gila,” desis Ki Tambi. “Apakah kau kira Bramanti sudah menjadi gila? Dengan demikian ia pasti menyadari bahwa akibat perbuatannya itu akan berekor panjang. Seandainya ia benar-benar ingin membalas dendam, maka aku kira bukan begitu caranya.”

“Mungkin ia mengharap anak itu mati seketika, atau setidak-tidaknya terluka parah sehingga tidak dapat pergi dari tempatnya sampai saatnya ia mati, karena gerojogan itu jarang sekali dijamah orang.”

“Sebodoh-bodoh Bramanti, ia tidak akan membuat perhitungan begitu dungu,” kemudian kepada Ki Demang ia berkata, “Nah, apakah kau percaya akan hal itu Ki Demang?”

Ki Demang mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera menjawab.

Yang menyahut adalah Temunggul. “Paman, adakah paman sudah bertemu dengan Bramanti? Nah, aku kira Bramanti telah meracuni paman dengan keterangan-keterangan palsu. Maaf paman, kedatangan kami kemari karena kami ingin bertemu dengan Bramanti.”

Ki Tambi untuk sejenak berdiri diri. Tidak bijaksana baginya apabila ia menahan anak-anak muda itu. Dengan demikian, maka ia sendiri pasti akan dilawannya. Apabila demikian, maka harga dirinya akan turun dimata anak-anak itu.

Sementara itu, ibu Bramanti terkejut pula mendengar hiruk pikuk di halaman. Sejenak ia mengintip dari balik pintu. Dilihatnya Ki Tambi sedang berbicara dengan Ki Demang, Ki Jagabaya dan Temunggul. Namun terasa hatinya bergetar. Ia menjadi cemas, bahwa agaknya telah terjadi sesuatu dengan anaknya.

Apalagi ketika ia mendengar Temunggul berkata keras memanggil nama anaknya.

“Bramanti, dimana kau Bramanti?”

Perempuan tua itu menjadi gemetar. Sehingga tubuhnya menjadi lemah. Ketika ia mencoba keluar, maka langkahnya pun menjadi terhuyung-huyung. Dengan suara tersendat-sendat ia bertanya dari muka pintu rumahnya, “Kenapa kalian mencari Bramanti?”

Orang-orang yang berada di halaman itu berpaling. Ketika dilihatnya perempuan tua itu, beberapa orang segera memalingkan wajahnya.

Yang menjawab adalah Ki Jagabaya. “Kami memerlukan anakmu Nyi Pruwita. Kami ingin berbicara sebentar.”

“Kenapa dengan anakku.”

“Jangan bingung. Kami hanya ingin sekadar menemuinya.”

“Ya, tetapi kenapa dengan anakku. Apakah ia berbuat salah?”

“Tentu,” jawab Ki Jagabaya. “Karena itu jangan ikut campur. Anakmu sudah cukup dewasa untuk bertanggungjawab.”

“Tetapi ia anakku. Satu-satunya anakku yang ada.

“Jangan ikut campur,” desis Ki Demang. “Ki Jagabaya sudah memperingatkan. Kau tidak terlibat dalam persoalan anakmu.”

“Tapi ia anakku.”

“Diam,” bentak Ki Demang.

Perempuan itu menjadi semakin gemetar. Kakinya yang lemah menjadi semakin lemah. Tetapi ia mencoba berjalan melintasi pendapa. Bramanti adalah satu-satunya anaknya yang ada disampingnya. Sedang anaknya yang lain, menurut Ki Tambi telah terjerumus ke dalam dunia yang hitam pekat.

“Sebaiknya kau pergi. Pergi,” berkata Ki Jagabaya pula.

Tetapi Nyai Pruwita itu tidak pergi. Ia menyadari, bahwa kebencian orang-orang Kademangannya kepada suaminya sampai saat ini belum padam. Dan ia menyadari bahwa kebencian itu sebagian telah dilemparkannya kepada anaknya. Tetapi ia tidak pergi. Ia tidak akan membiarkan anaknya diperlakukan tidak baik.

Ki Tambi yang melihat perempuan tua itu berjalan tertatih-tatih, segera mendekatinya. Sambil membantunya ia berkata, “Sudahlah, sebaiknya kau masuk saja Nyai.”

“Tetapi anakku.”

Perlahan-lahan Ki Tambi berbisik, “Serahkan kepadaku. Anakmu pasti dapat mengatasi kesulitan yang akan menimpanya. Jangan cemas. Aku ada di halaman ini. Dan kau lihat Panjang ada bersama dengan mereka, sehingga kalau perlu aku akan minta bantuannya.”

Perempuan tua itu mengerutkan keningnya sejenak.

“Kalau kau berada di sini Nyai, maka keputusan Bramanti untuk mengambil sikap akan sangat terpengaruh. Karena itu, masuklah. Percayalah kepadaku, dan berdoalah.”

Perempuan tua itu memandang wajah Ki Tambi dengan penuh pengharapan. “Apakah kau dapat aku percaya?”

“Aku akan mencoba memenuhi kepercayaanmu.”

“Kau berjanji?”

“Aku janji.”

Perempuan tua itu kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku serahkan keselamatan anakku kepadamu.”

“Ya. Semoga.”

Maka perempuan itu pun kemudian dibimbing oleh Ki Tambi masuk kembali ke dalam pringgitan. Perlahan-lahan Ki Tambi menutup pintu sambil berdesis, “Nyai, anakmu ternyata bukan sembarang orang. Percayalah.”

Perempuan itu tidak sempat menjawab, karena pintu pun segera tertutup rapat.

Sementara itu, Bramanti masih berada di dalam kandang. Ia memang sengaja tidak beranjak dari tempatnya sampai ada seseorang menjenguk dan memaksanya keluar. Namun ketika terdengar orang-orang di halaman itu membentak-bentak ibunya, terasa hatinya tergetar. Ia tidak akan kehilangan pengamatan diri apabila orang-orang itu membentak-bentaknya bahkan memukulnya. Tetapi orang-orang itu ternyata membentak-bentak ibunya yang sudah tua. Karena itu, terasa darahnya seakan-akan menjadi semakin cepat mengalir.

Namun ketika bentakan-bentakan itu terdiam, Bramanti mencoba mengatur perasaannya kembali. Bahkan pertanyaan itu timbul lagi di dalam dadanya, “Apakah yang akan kulakukan?”

Dalam pada itu, ia masih mendengar Temunggul memanggilnya. “Bramanti, dimana kau bersembunyi?” Seluruh halaman rumahmu sudah diawasi. Kau tidak akan dapat melepaskan diri lagi kali ini.”

Dada Bramanti menjadi semakin berdebar-debar. Nafasnya serasa tertahan di kerongkongan ketika ia melihat dari sela-sela pintu kandang yang tidak merapat itu, dua orang berjalan ke kebun rumahnya.

“Kalau kau tidak keluar Bramanti,” suara Temunggul terdengar lagi. “Aku akan memasuki rumahmu dan mencari kau di dalamnya. Karena itu, supaya ibumu tidak menjadi semakin ketakutan, sebaiknya kau keluar.”

Kata-kata itu benar-benar telah mendebarkan jantungnya. Kalau orang-orang itu memasuki rumahnya, maka ibunya memang akan menjadi semakin ketakutan. Karena itu, maka ia berbimbang sejenak, apakah tidak sebaiknya ia menampakkan diri. Tetapi sesudah itu lalu bagaimana?”

Ki Tambi kini telah berada di halaman rumah itu lagi. Sekilas ia memandang wajah Panjang. Ia melihat wajah itu pun menjadi tegang. Namun ketika mereka beradu pandang Panjang menggelengkan kepalanya.

“Apakah maksud anak itu mengatakan bahwa ia tidak ikut campur?” bertanya Ki Tambi di dalam hatinya.

Namun ia masih mengharap, satu-satunya kemungkinan bagi Bramanti adalah berbuat jantan. Kalau ia ternyata seperti yang diduganya, maka mata orang Kademangan itu pasti akan segera terbuka, dengan siapa mereka berhadapan.

“Tetapi kalau tidak?” Ki Tambi menjadi ragu-ragu. “Kalau Bramanti itu sebenarnya Bramanti seperti yang tampak sehari-hari?”

Ki Tambi mulai dirayapi oleh kecemasan di dalam hatinya. Namun kemudian ia berkata di dalam hatinya. “Aku sudah berjanji untuk melindunginya. Apapun yang terjadi. Akan sia-siakah perjalananku selama ini, kalau aku tidak berhasil melepaskan Bramanti dari tangan mereka. Aku yakin bahwa tidak semua orang akan berpihak kepada Temunggul. Setidak-tidaknya Panjang. Bahkan mungkin aku akan dapat menakut-nakuti orang-orang ini dengan lencana Panggiring. Kalau terjadi apa-apa atas Ki Tambi yang telah mendapat lencana Candi ini, Panggiring tidak akan tinggal diam. Dan Panggiring adalah kakak Bramanti betapapun hubungan yang kurang serasi di antara mereka.”

Keputusan itu telah memantapkan sikap Ki Tambi, sehingga kini ia tidak lagi menjadi gelisah. Ia berdiri dengan kaki tegak di halaman beberapa langkah dari Ki Demang.

Dalam pada itu beberapa anak-anak muda telah berkeliaran di halaman mencari Bramanti dan mengawasi setiap kemungkinan untuk melarikan diri. Namun sampai begitu jauh mereka sama sekali belum memasuki sebuah bangunan pun rumah, kandang dan lumbung yang kosong.

Dan sekali lagi Temunggul berkata, “Bramanti, kalau kau tidak keluar dalam hitungan ke sepuluh, aku akan masuk dan mencari kau di dalam rumahmu.”

Bramanti yang mendengar teriakan itu menjadi semakin gelisah. Yang digelisahkan adalah justru ibunya yang sudah tua. Kalau saja di rumah itu tidak ada ibunya, maka ia akan tetap berada di dalam kandang itu sampai seseorang menjenguknya dan memaksanya keluar. Tetapi, kini ia harus memperhitungkan ibunya itu pula.

Tanpa sesadarnya Bramanti menengadahkan wajahnya. Dipandanginya blandar yang membujur di atas tiang kandangnya. Di atas blandar itu ia menyimpan senjatanya. Sebuah pedang pendek.

“Apakah aku akan mengambilnya,” desisnya. “Ah tidak. Kalau mereka melihat aku bersenjata, mereka akan menjadi semakin gila.”

Bramanti menjadi semakin gelisah ketika ia mendengar hitungan Temunggul telah sampai ke angka lima. “Enam, tujuh….”

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Keringatnya telah membasahi seluruh pakaiannya.

“Delapan……..”

Bramanti tidak dapat membiarkan ibunya dicekik oleh ketakutan. Karena itu, maka ketika Temunggul mengucapkan hitungan ke sembilan, maka segera ia melangkah keluar dari kandang sambil berkata, “Aku disini Temunggul.”

Semua mata berpaling ke arahnya. Ki Tambi pun memandanginya dengan wajah yang tegang.

“Ha, bukankah kau berada disitu,” berkata Temunggul. “Aku sudah pasti bahwa kau berada di dalam kandang karena Ki Tambi keluar dari tempat itu juga. Kau sengaja akan menjebak kami?”

“Kenapa kau tidak masuk saja ke dalamnya,” potong Ki Tambi. “Dan kenapa kau pakai cara itu untuk memancingnya keluar? Setiap orang yang waras memang tidak akan tega membiarkan ibunya diburu oleh ketakutan. Hanya orang-orang yang tidak berperikemanusiaan sajalah yang mempergunakan orang-orang tua untuk kepuasan hati.”

Temunggul mengerutkan keningnya. Ia hanya melihat sikap Ki Tambi yang agak justru berpihak kepada Bramanti. Namun ia masih menaruh hormat kepada orang tua itu. Karena itu, ia hanya memandangi Ki Demang dan Ki Jagabaya, seolah-olah menyerahkan Ki Tambi kepada mereka.

Karena itu Temunggul malahan tidak memperhatikannya lagi. Kini perhatiannya dipusatkannya kepada Bramanti yang masih berdiri dimuka kandang.

“Kemarilah Bramanti,” berkata Temunggul. “Di sini tempat lebih luas.”

Bramanti melangkah maju beberapa langkah. Wajahnya yang tegang memancarkan berbagai macam nada yang dalam dirinya penuh dengan teka-teki bagi Ki Tambi. Namun langkah Bramanti kali ini ternyata telah menumbuhkan debar di dalam dada orang tua itu.

“Nah, apakah kau sekarang masih akan ingkar Bramanti. Anak yang kau jerumuskan ke dalam jurang itu kini ada disini,” berkata Temunggul lantang.

Bramanti tidak menjawab. Ia melihat anak muda itu tertatih-tatih dibantu oleh dua orang kawannya maju ke dekat Temunggul.

“Ki Demang dan Ki Jagabaya akan menjadi saksi persoalan ini. Aku sebagai pemimpin pengawal mendapat tugas untuk menyelesaikannya. Untunglah, bahwa tugas yang diberikan kepadaku adalah sekadar memberimu peringatan dan sedikit cara untuk membuatmu jera.”

Bramanti masih belum menjawab. Tetapi adalah diluar dugaan bahwa ia justru melangkah maju. Tatapan matanya kini langsung menusuk ke wajah anak yang terluka itu.

“Kau telah menjerumuskan aku,” anak yang terluka itu berbisik.

Bramanti masih tetap berdiam diri. Kini ia berdiri di dalam sebuah lingkaran yang menebar di halaman rumahnya.

“He, bukankah kau telah mendorong aku masuk ke dalam jurang?”

Bramanti tidak menyahut. Tetapi ketika ia melangkah maju, anak muda itu tiba-tiba menjadi gemetar.

“Bramanti, jawablah,” bentak Temunggul.

“Temunggul,” nada suara Bramanti terdengar berat dan dalam. “Sebenarnya kau tidak perlu bertanya kepadaku. Kau tahu persoalan yang sebenarnya terjadi. Ayo, katakanlah. Apa yang telah terjadi sebenarnya. Kalau kau benar-benar seorang pemimpin dan lebih dari itu, kau memang seorang lelaki jantan, maka kau pasti akan berani berkata yang sebenarnya.”

Jawaban Bramanti itu sama sekali tidak diduga-duganya. Tatapan mata Bramanti yang lurus dan kata-katanya yang tegas, telah membuat dada Temunggul menjadi berdebar-debar. Sejenak ia terdiam. Namun sejenak kemudian, dipaksanya dirinya untuk mempertahankan tuduhannya. Ia tidak dapat mundur lagi. Di halaman itu berdiri banyak orang yang akan menjadi saksi.

“Aku tidak usah mengulanginya. Anak itu telah mengatakannya.”

Kini wajah Bramanti menjadi merah. Darah mudanya mulai bergolak di dalam dirinya. Ia telah merasakan banyak sekali penghinaan. Tetapi tuduhan yang licik ini membuat jantungnya mengelak. Telah sekian lama ia dihinakan. Sampai kapan? Ya sampai kapan? Seperti yang selalu di tanyakan oleh Ki Tambi kepadanya.

Namun sebelum Bramanti menyahut, semua orang berpaling ke arah sebuah suara, “Aku meragukan keterangannya.”

“Panjang,” desis Temunggul. “Kau Panjang? Apakah kepentinganmu dengan kata-katamu itu? Kau tidak melihat peristiwa ini terjadi.”

“Apakah kau juga melihat Temunggul?” bertanya Panjang.
Pertanyaan itu pun telah mendebarkan dada Temunggul. Ia tidak dapat segera dapat menyahut. Namun terbata-bata ia berkata, “Tidak. Aku tidak melihat. Tetapi bukankah anak ini telah mengatakannya.”

“Justru kata-katanyalah yang aku ragukan.”

“Tutup mulutmu,” bentak Temunggul. “Apakah kau juga harus mendapat hukuman seperti Bramanti?”

“Aku hanya ingin melihat kebenaran. Menurut keyakinanku, bukan itulah yang terjadi sebenarnya. Tetapi aku tidak tahu, apakah yang telah terjadi itu. Bahkan aku lebih percaya kepada Bramanti, bahwa seharusnya kau tidak usah menanyakannya kepadanya, karena kau mengetahui persoalan yang sebenarnya.”

“Diam,” Temunggul berteriak keras-keras.

Tetapi Panjang justru melangkah maju. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti ketika Ki Jagabaya membentak, “Kau berhenti disitu Panjang. Kau jangan mengacaukan persoalan ini. Persoalan ini adalah persoalan Temunggul dan Bramanti.”

“Tidak,” yang menjawab adalah Ki Tambi. “Persoalan ini adalah persoalan kita semua. Apakah kita berani melihat kenyataan, ataukah kita ingin selalu dibayangi oleh mimpi dan tidur yang lelap. Nah, Ki Jagabaya. Kau adalah orang yang paling berkepentingan disamping Ki Demang. Sekarang, cobalah, beranikan dirimu mendengarkan tidak hanya suara Temunggul dan orang-orang yang selalu dekat padamu. Kau harus berani mendengarkan suara orang lain. Suara Panjang, suaraku, suara Bramanti dan suara orang-orang lain lagi.”

Ki Jagabaya menjadi gemetar mendengar kata-kata Ki Tambi itu. Dengan wajah yang merah ia berkata, “Akulah Jagabaya disini. Bukan kau.”

“Aku tahu. Dan justru karena itulah maka kau harus berdiri tegak di atas alas yang adil. Kaulah yang justru harus berani mendengar banyak keterangan dan kemudian mempertimbang-kan, manakah yang meyakinkan dan dapat dipercaya.”

Ki Jagabaya menggeram. Tetapi ia tidak segera menjawab. Kata-kata Ki Tambi itu dapat menyentuh perasaannya, sehingga karena itu ia seakan-akan membeku ditempatnya.

“Nah, sebaiknya siapa yang akan berbicara, berbicaralah,” berkata Ki Tambi selanjutnya.

Halaman itu justru menjadi sepi. Beberapa orang saling berpandangan, dan beberapa anak-anak muda menjadi bimbang. Tidak pernah terjadi selama ini, kata-kata Ki Jagabaya dan Temunggul diragukan, apalagi dibantah. Anak-anak muda Kademangan Candi Sari seakan-akan terlampau patuh kepada pimpinan pengawalnya. Kata-kata Temunggul merupakan keputusan yang hanya dapat dibatalkan oleh Ki Jagabaya dan Ki Demang saja. Tetapi kini Panjang telah mulai mempersoalkan-nya.

Sekilas mereka teringat, bahwa Temunggul pernah marah kepada anak muda itu karena kelakarnya yang dianggap berlebih-lebihan. Namun mereka tidak menyangka, bahwa tiba-tiba saja Panjang bersikap terlampau berani justru dihadapan Ki Demang dan Ki Jagabaya.

Namun yang mengherankan pula adalah sikap Ki Tambi. Seperti Panjang, sikapnya seakan-akan berpihak kepada Bramanti yang mereka sangka sedang mempersiapkan rencana yang mengerikan.

Pembalasan dendam. Dan pembalasan dendam itu sudah dimulainya.

Kesepian itu menjadi terlampau tegang. Wajah-wajah yang kemerah-merahan, sikap yang kaku dan sorot mata yang membara. Sementara matahari serasa telah membakar halaman rumah itu.

Kesepian itu kemudian dipecahkan oleh suara Ki Demang lantang. “Aku percaya kepadanya Temunggul, kepada anak yang terluka itu. Nah, sekarang terserah kepadamu apakah yang akan kau lakukan.”

Beberapa orang terkejut mendengar keputusan yang tiba-tiba itu. Apalagi Ki Tambi, Panjang dan Bramanti sendiri. Sejenak mereka memandang wajah Ki Demang dengan tajamnya. Mereka melihat sesuatu yang tidak wajar pada wajah itu. Tetapi mereka tidak mengerti, apakah sebenarnya yang tersirat dalam keputusan itu.

“Terima kasih,” sahut Temunggul. “Sekarang tuntutan bertambah. Selain Bramanti, agaknya Panjang pun telah melakukan perlawanan atas pimpinannya.”

Panjang memandang wajah Temunggul dengan mata yang merah karena kemarahannya. Tetapi ia masih cukup sadar, bahwa Ki Demang adalah orang yang paling berkuasa di dalam Kademangan ini.

Yang mengherankan adalah pertanyaan Ki Tambi, “He, Temunggul. Kau telah melupakan aku. Apakah aku tidak kau hukum sama sekali?”

Juga pertanyaan itu tidak disangka-sangka sama sekali. Karena itu Temunggul tidak dapat segera menjawab. Di pandanginya saja wajah Ki Demang dan Ki Jagabaya, seolah-olah minta pertimbangan kepada mereka, apakah yang sebaiknya dilakukannya.

Ki Demang menangkap perasaan yang terpancar di mata Temunggul. Karena itu maka katanya, “Serahkan yang tua kepada yang tua. Aku akan dapat memberinya penjelasan, apa yang sebenarnya telah terjadi.”

Tetapi yang lebih mengejutkan lagi justru karena Ki Tambi tertawa, “Penjelasan apakah yang dapat kau berikan Ki Demang? Aku kira kau hanya akan mengulangi kata-kata anak muda yang terluka itu dengan sedikit penjelasan, alasan-alasan dan mungkin pertimbangan sekadarnya. Tetapi seperti Panjang, aku meragukan keterangan itu. Aku meragukan keterangan Temunggul. Sayang, Temunggul yang selama ini aku kenal sebagai seorang anak muda yang bertanggungjawab. Namun tiba-tiba saja ia telah berubah. Aku tidak tahu pasti, apakah sebabnya.”

Temunggul menggeram. Betapa ia menahan dirinya, supaya tetap menghormati orang tua yang itu, namun hampir-hampir ia tidak dapat mengendalikan dirinya.

“Jangan hiraukan Temunggul,” berkata Ki Demang, “Lakukanlah pekerjaanmu. Aku adalah penguasa tertinggi di Kademangan ini.”

“Jadi dengan demikian, apakah kau dapat berbuat mu dengan kekuasaan itu? Kau salah Ki Demang. Kekuasaanmu itu berasal dari kami sekalian. Kau tidak dapat menggunakan kekuasaan itu hatimu tanpa menghiraukan pendapat kami.”

Wajah Ki Demang menjadi semakin merah karenanya. Meskipun ia tampak berusaha untuk mengekang diri, namun terloncat pula kata-katanya, “Ki Tambi. Kami semuanya menghormati kau sejak sebelum kau meninggalkan kampung halaman. Tetapi tiba-tiba kau berbuat sesuatu yang dapat menggoncangkan perasaan kami.”

“Aku berbicara atas keyakinan Ki Demang.”

“Aku berhak berbuat lebih banyak lagi atas Bramanti dan juga atasmu.”

“Apa yang dapat kau lakukan atasku.”

“Sekehendakku. Menangkap kau dan apabila aku kehendaki aku dapat menghukum kau tanpa batas.”

“Kau tidak akan berani melakukannya.”

“Kenapa? Apakah kau sangka di Kademangan ini tidak ada seorang pun yang dapat melakukan atasmu? Seandainya aku atau Ki Jagabaya tidak mampu, maka kami dapat bersama-sama melakukannya.”

“Kalian tidak akan berani.”

“Kenapa?”

“Aku mempunyai lencana Panggiring. Kalau terjadi sesuatu atasku, kalian akan berhadapan dengan Panggiring pula.

“Ki Tambi berhenti sejenak, lalu, “Nah, kau dapat membayangkan. Kademangan ini akan menjadi kering. Saat ini Panembahan Sekar Jagat masih mencengkam Kademangan ini, kemudian telah kalian lihat bayangan seseorang yang menyebut dirinya Panji Sekar, Resi Panji Sekar dengan seorang Putut yang perkasa, Putut Sabuk Tampar. Kemudian akan datang pula Panggiring dari pesisir Utara.”

Wajah Ki Demang yang merah menjadi semakin merah. Tetapi sejenak ia membeku ditempatnya. Bayangan itu memang terlampau mengerikan.

Ki Jagabaya, Temunggul, Panjang dan anak-anak muda yang lain pun terdiam ditempatnya, seakan-akan dicengkam oleh kecemasan yang dahsyat.

Namun kediaman itu tiba-tiba dipecahkan oleh suara Bramanti, “Maaf paman Tambi. Aku tidak ingin melihat kita bernaung di bawah perlindungan Panggiring. Aku sudah menganggapnya hilang dari keluargaku. Apalagi kini ia telah berada di dalam dunia yang sama sekali tidak aku kehendaki.”

Ki Tambi mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Bramanti itu. Sebagian ia menjadi heran, begitu jauh jarak yang telah memisahkan dua bersaudara seibu itu, sehingga dalam keadaan yang gawat itu pun Bramanti masih juga menolak pengaruh nama kakaknya. Namun di bagian lagi ia menjadi sedikit berpengharapan, bahwa dengan demikian Bramanti akan berdiri di atas kemampuannya sendiri. Karena itu, maka setelah mempertimbangkan beberapa lama ia menjawab, “Baiklah Bramanti. Aku cabut keteranganku tentang lencana Panggiring. Biarlah kita berpisah daripadanya. Namun meskipun demikian, aku tetap pada pendirianku, bahwa aku tidak dapat mengerti, kenapa kalian begitu cepat mempercayai anak itu. Aku juga heran, kenapa Temunggul juga segera terpengaruh pula olehnya.”

Ki Demang, Ki Jagabaya, Temunggul dan yang lain tidak segera menyahut. Mereka pun masih juga dibelit oleh berbagai macam pertimbangan. Bahkan mereka pun menjadi heran, kenapa Bramanti menolak sekadar pengaruh nama Panggiring.

Namun, meskipun demikian, nama itu masih tetap menggema di dalam setiap dada. Mungkin Bramanti benar-benar menolaknya, tetapi bagaimana dengan Ki Tambi? Kalau terjadi sesuatu atasnya, apakah Panggiring tidak merasa berhak ikut campur?

Dengan demikian, maka halaman rumah Bramanti itu kemudian dipenuhi oleh keragu-raguan. Setiap orang merasa ragu-ragu untuk bertindak, sehingga yang satu menunggu sikap yang lain.

Dalam kesepian itulah mereka mendengar dengan jelas degup jantung masing-masing. Degup yang membayangkan kecemasan, keragu-raguan dan tidak ketentuan sikap.

Namun dalam pada itu, dendam Temunggul kepada Bramanti masih belum mereda dari dadanya. Ia masih menunggu kesempatan yang akan diberikan oleh Ki Demang apapun akibatnya. Ia ingin berkelahi seorang melawan seorang dengan Bramanti, supaya ia mendapat kepuasan untuk berbuat sesuka hatinya.

Tetapi Ki Demang tidak segera memberikan isyaratnya. Agaknya ia benar-benar terpengaruh oleh kata-kata Ki Tambi tentang beberapa pihak yang seakan-akan sedang membayangi Kademangan ini dengan cara dan kepentingan masing-masing.
Namun ternyata Temunggul itu tidak dapat menahan hati lagi. Karena Ki Demang masih saja berdiam diri, maka Temunggul pun bertanya kepadanya, “Bagaimana dengan anak ini Ki Demang?”

Ki Demang masih saja ragu-ragu. Namun kemudian ia menganggukkkan kepalanya sambil berkata, “Lakukanlah.”

Ki Tambi mengerutkan keningnya, sedang Panjang bergeser selangkah maju. Tetapi mereka tidak segera berbuat sesuatu. Meskipun mereka berpijak pada alasan yang berbeda, namun keduanya mengharap, bahwa Bramanti kali ini tidak akan sekadar membiarkan dirinya terhina.

“Nah, bukankah kau sudah mendengar Bramanti,” desis Temunggul kemudian sambil melangkah maju. “Tetapi aku bukan pengecut. Aku tidak akan melakukannya seperti seorang yang menghukum pencuri ayam di kandang tetangga. Tidak. Aku akan berbuat seperti seorang laki-laki. Aku minta kita berkelahi.”

“Aneh,” desis Bramanti. “Kalau kau anggap aku bersalah, dan kau sudah mendapat wewenang untuk melakukannya hukuman atasku, kenapa kau memilih jalan yang sulit itu? Bukankah kau tinggal memilih, cara apakah yang kau kehendaki? Apakah kau ingin membawa aku ke tebing itu dan menjerumuskannya? Atau cara apapun yang kau ingini.”

Dada Temunggul berdesir. Kali ini ia menjumpai banyak hal yang tidak terduga-duga. Kali ini ia tidak melihat wajah Bramanti yang ketakutan dan kakinya yang gemetar. Kali ini ia tidak melihat anak itu merenggek-rengek seperti perempuan cengeng. Tetapi kali ini ia melihat sorot mata Bramanti memancar langsung menembus ke pusat jantungnya. Bahkan ketika ia melangkah selangkah maju, Bramanti pun maju selangkah.

“He, apakah Bramanti telah menjadi gila,” bertanya Temunggul kepada diri sendiri.

“Temunggul,” terdengar suara Bramanti yang berat. “Cepat, lakukanlah supaya kau mendapat kepuasan. Tidak usah dengan perkelahian dan segala macam alasan tentang seorang laki-laki. Bukankah kau sudah mendapat kepastian bahwa aku tidak akan dapat melawanmu. Kau sudah melihat beberapa kali, aku tidak dapat melawan siapapun di Kademangan ini. Bahkan terhadap Suwela pun aku tidak dapat berbuat apa-apa ketika ia mencambuk aku di arena. Apalagi kini kau sendiri yang akan melakukannya. Bukankah itu tidak akan berarti apa-apa? Apakah kau sekadar ingin mendapat julukan bahwa kau berbuat dengan jujur sebagai seorang laki-laki tanpa mempergunakan pengaruh kekuasaanmu?”

Pertanyaan itu bertubi-tubi memukul dada Temunggul, sehingga Bramanti masih saja mengucapkan kata-kata itu, Temunggul berteriak, “Diam, diam kau.”

“Kenapa Temunggul,” bertanya Bramanti. “Kenapa kau tidak berani mendengarkannya? Sudah tentu bahwa kau tidak akan berbuat demikian. Sudah tentu kau tidak hanya akan sekadar memanfaatkan kemantapan anggapanmu bahwa aku pasti tidak akan mampu melawan. Apakah memang kau hanya berani berbuat demikian terhadap aku dan orang-orang yang tidak berdaya lainnya?”

“Diam.”

“Kalau tidak, maka kau pasti akan mengambil jalan lain yang lebih mudah bagimu. Mengikat aku, kemudian memukuli sepuasmu. Tidak usah dengan sebuah barisan seperti hendak pergi ke peperangan, karena kau tidak memerlukan orang yang akan melihat pameran kemenanganmu. Tapi sayang, kemenangan atas seseorang yang memang sudah diketahui tidak berdaya.”

“Diam kau, diam!” Temunggul tidak dapat menahan diri lagi. Dengan tangkasnya ia meloncat dan menampar mulut Bramanti sekuat-kuat tenaganya.

Bramanti terdorong selangkah surut. Tetapi kemudian ia berdiri tegak. Kedua kakinya yang renggang seakan-akan jauh terhujam ke dalam tanah. Meskipun demikian Bramanti tidak bersikap untuk melawan. Bahkan ia masih berkata, “Lakukanlah sepuasmu. Aku tidak akan melawan. Kejantanan yang kau sebut-sebut sudah tidak berarti lagi. Setidak-tidaknya bagiku, bagimu sendiri dan bagi anak yang terluka itu, karena mereka mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi biarlah orang-orang yang dapat kau kelabuhi itu memuji di dalam hatinya, bahwa pimpinan pengawal Kademangan Candi Sari adalah seorang laki-laki.”

Temunggul menjadi gemetar. Tetapi justru ia mematung ditempatnya.

Tambi yang menahan nafas melihat pukulan pertama Temunggul, menjadi semakin berdebar-debar. Ketika ia melihat sikap Bramanti, maka ia pun menarik nafas dalam-dalam. Orang tua itu berdesis didalam hatinya, “Anak itu bukan saja anak yang luar biasa. Pukulan Temunggul sekuat-kuat tenaganya itu seolah-olah sama sekali tidak terasa. Tetapi anak itu adalah juga anak yang bijaksana. Ia mampu bersikap jantan tanpa mengadakan perlawanan. Ia mampu menahan diri dalam sikapnya, sampai suatu batas tertentu. Bukan main. Aku tidak akan mampu berpikir sejauh itu dan menempuh kebijaksanaan sedemikian.”

Di tempat lain Panjang mengerutkan keningnya. Ia melihat sesuatu yang aneh telah terjadi. Meskipun Bramanti sama sekali tidak melawan, tetapi justru ia melihat kemenangan terpancar di wajahnya. Dan justru Temunggul lah yang menjadi gelisah dan kebingungan, sehingga ia masih saja berdiri gemetar ditempatnya.

Ki Demang dan Ki Jagabaya mengikuti perkembangan keadaan itu dengan seksama. Sejenak mereka mengerutkan keningnya, namun sejenak kemudian terasa sesuatu bergetar di dalam dada.

Ki Jagabaya yang tidak suka terlampau banyak berpikir itu, kali ini tidak dapat melepaskan diri dari persoalan yang tengah dihadapinya. Mau tidak mau ia harus membuat pertimbangan-pertimbangan. Dan hampir di luar sadarnya ia berdesis, “He, aku menjadi ragu-ragu. Apakah yang sebenarnya terjadi?”

Kata-kata Ki Jagabaya itu benar-benar telah mengejutkan semua orang yang berada di halaman itu. Serentak mereka berpaling memandangi wajah Ki Jagabaya yang bimbang.
Tetapi Ki Jagabaya adalah memang seorang yang lugu. Seorang yang berterus terang. Karena itu, maka ia pun segera melangkah maju dan bertanya kepada Temunggul. “He, Temunggul. Aku memang tidak mampu berpikir berbelit-belit. Tetapi apakah yang sebenarnya telah terjadi?”

Wajah Temunggul menjadi merah padam. Sejenak ditatapnya wajah Ki Jagabaya, namun sejenak kemudian dipandanginya wajah Ki Demang.

“Ki Jagabaya,” berkata Ki Demang. “Jangan kau bingungkan anak itu dengan pikiran-pikiran yang tidak mapan. Kemarilah. Biarkan mereka menyelesaikan persoalan anak-anak, asal masih dalam batas-batas yang wajar. Kita hanya akan mengawasinya dan mencegah persoalan-persoalan yang akan berkepanjangan.”

“Tetapi aku memang merasakan sesuatu yang tidak wajar sejak permulaan,” jawab Ki Jagabaya.

“Kemarilah. Jangan terlampau ribut memikirkan masalah anak-anak itu. Mereka mempunyai cara untuk menyelesaikan masalah mereka.”

Ki Jagabaya menarik nafas. Sebagai biasanya ia selalu patuh kepada pimpinannya. Meskipun ia adalah bebahu Kademangan yang dalam keadaan genting itu merupakan orang terpenting, tetapi ia tidak dapat melampaui kekuasaan demangnya.
Ki Tambi hanya dapat menarik nafas. Tetapi ia justru ingin melihat kelanjutan dari persoalan itu. Kini ia mencemaskan lagi nasib Bramanti. Ia agaknya telah mempunyai sikap yang mantap meskipun secara tiba-tiba.

Namun kini Temunggul lah yang masih mematung. Berbagai macam perasaan berbenturan di dalam hatinya. Kata-kata Bramanti telah menusuk jantungnya dan membuat luka yang pedih.

Tiba-tiba Temunggul itu melihat kepada diri sendiri. Seakan-akan terbayang kembali, apakah yang telah terjadi di tebing di dekat gerojogan itu. Dan bayangan itu telah membuatnya menjadi semakin bimbang.

Dengan demikian, maka sekali lagi halaman rumah itu diterkam oleh kesenyapan. Kesenyapan yang tegang. Masing-masing berdiri tegak di tempatnya sambil menahan nafas. Bahkan anak muda yang terluka itu seakan serasa tengah berdiri di atas bara. Kalau kemudian Temunggul mengingkari keterangannya, maka ia akan terlempar ke dalam keadaan yang sangat sulit. Ialah yang dianggap sebagai sumber masalah. Kalau tiba-tiba orang-orang yang berada di dalam halaman itu mengetahui, bahwa ia telah berbohong, maka sudah tentu ia tidak akan dapat menghindari kemarahan mereka. Apalagi Ki Jagabaya. Ki Jagabaya yang selama ini dikenalnya sebagai seorang yang selalu bertindak tegas terhadap siapapun, meskipun kadang-kadang agak kurang pertimbangan, sehingga ia mudah sekali digerakkan tanpa mempergunakan pikirannya.

Namun kesenyapan itu tiba-tiba telah dihentakkan oleh suara di kejauhan. Suara derap beberapa ekor kuda. Dan suara derap kuda itu telah menyusup ke dalam setiap telinga.
Serentak orang-orang di halaman itu mengangkat wajahnya. Sejenak mereka seakan-akan dicengkam oleh pesona yang tidak dapat dihindarkan. Namun kemudian setiap wajah menjadi pucat, selain beberapa orang yang justru menjadi berdebar-debar.

“Aku dengar derap kaki-kaki kuda,” terdengar Ki Demang berdesis. “Ya. Aku telah mendengarnya pula,” sahut Ki Jagabaya.

“Panembahan Sekar Jagat,” sambung Ki Demang.

Dan hampir setiap mulut kemudian berdesis, “Panembahan Sekar Jagat.”

“Ya. Panembahan Sekar Jagat.” Tanpa disadarinya, maka anak-anak muda yang menebar itu bergeser. Semakin lama menjadi semakin rapat yang satu dengan yang lain.

“Kita harus menghindar,” desis seseorang.

“Ya, kita harus menyingkir.” Dan tiba-tiba saja anak-anak muda itu telah bersiap untuk melarikan dirinya. Bahkan beberapa orang telah berkisar beberapa langkah dan siap untuk meloncat berlari ke kebun di belakang rumah.

Namun langkah mereka tertegun ketika terdengar suara Ki Tambi, “He, akan kemanakah kalian?”

Beberapa orang saling berpandangan.

“Kita perlu menyingkirkan diri,” terdengar suara Ki Demang. “Kita tidak ingin mengalami perlakuan yang tidak wajar dari mereka.”

“Kalau kita bersimpuh di hadapan mereka, maka memang akan terjadi perlakuan yang tidak wajar itu. Tetapi lihat, bukankah kalian bersenjata dilambung kalian. Hanya satu dua orang yang tidak membawanya, dan kalian dapat memungut apa saja yang dapat kalian pergunakan untuk senjata. Slumbat kelapa, pemukul kentongan atau ujung pering itu.”

“He, apakah kita akan melawan?” bertanya Ki Demang.

“Inilah yang belum pernah kita lakukan. Sebaiknya kita mencoba selagi kita berkumpul. Bukankah sebagian dari para pengawal ada disini. Selebihnya harus dipanggil dengan kentongan.”

“Gila, itu teramat gila,” Ki Demang menjadi gemetar. “Tidak mungkin. Tidak mungkin, sama sekali tidak mungkin. Aku tidak ingin Kademangan ini menjadi hancur lebur menjadi abu, hanya karena kebodohan kita.”

“O, jadi apakah sebenarnya tugas para pengawal itu? Hanya sekadar menakut-nakuti kawan sendiri seperti yang baru saja terjadi ini? Itukah tugas Temunggul dan anak-anak muda yang lain. Mereka hanya sekadar kau jadikan ayam aduan di antara sesama? Bodoh. Kaulah yang bodoh. Dalam keadaan seperti ini, aku berhak menentukan sikap sebagai laki-laki di Kademangan ini. Laki-laki. Disinilah penilaian yang sebenarnya, siapa laki-laki jantan dan siapa yang sekadar ingin dirinya disebut pahlawan di antara sesama. yang hanya berani memukul anak-anak kita sendiri yang memang sedang ketakutan. Inikah yang disebut pengawal, pelindung dan sebutan apa lagi yang diingini?”

Sejenak Ki Demang terbungkam. Dipandanginya wajah Ki Tambi dengan tajamnya. Namun Tambi tetap menengadahkan kepalanya. Bahkan ditatapnya wajah anak-anak muda yang berdiri di halaman itu seorang demi seorang, seakan-akan orang tua itu ingin melihat, apakah yang tersimpan di dalam hati mereka masing-masing.

Namun suara derap kaki kuda itu menjadi semakin dekat.

“Pergi, pergi,” tiba-tiba Ki Demang berteriak.

Tetapi tidak seorang pun yang beranjak dari tempatnya. Apalagi ketika mereka melihat Ki Tambi tersenyum sambil berkata “Sekarang kita mendapat kesempatan untuk menyatakan diri, apakah kita benar-benar seorang pengawal Kademangan yang baik atau hanya sekadar seorang pengecut yang salah tempat. Justru kali inilah pendadaran yang sebenarnya bagi para pengawal. Bukan sekadar di arena.”

Tetapi Ki Demang berteriak semakin keras, “Pergi kalian. Jangan gila. Perlawanan hanya akan membuat Kademangan ini menjadi abu.”

Tetapi semuanya masih berada ditempatnya. Ternyata mereka sedang dibakar oleh kebimbangan. Tidak seorangpun dari anak-anak muda yang dapat memutuskan, apakah yang sebaiknya dilakukan.

Bahkan Panjang pun masih saja berdiri seakan-akan membeku. Tatapan matanya sekali menyambar Ki Tambi yang tetap tenang, kemudian dipandanginya Ki Demang yang gelisah.

Ketika ia memutar kepalanya, maka pandangan matanya membentur seorang anak muda yang berdiri tegak seperti tonggak. Bramanti. Betapa wajahnya menjadi tegang sehingga matanya seolah-olah menjadi semerah bara. Bibirnya terkatup rapat-rapat, dan tangannya mengepal.

Kini Bramanti itu dihadapkan pada suatu keadaan yang paling sulit. Ia sadar, bahwa yang datang itu pasti Wanda Geni dan orang yang lebih tinggi kedudukannya. Bahkan mungkin Panembahan Sekar Jagat sendiri. Kalau dalam keadaan serupa ini ia menyingkir dengan alasan apapun, maka korban pasti akan berjatuhan. Apalagi Ki Tambi agaknya telah berhasil menahan para pengawal itu untuk tidak melarikan diri.

Seandainya mereka tidak tetap berada di halaman itu, maka ia akan dapat menyongsong pasukan berkuda itu dengan caranya. Tetapi kini kesempatan itu sama sekali tidak ada.

Seperti anak-anak muda yang lain, sebenarnya Bramanti pun sedang dicengkam oleh kebimbangan dan keragu-raguan, meskipun berbeda sifat dan bentuknya. Namun meskipun demikian, ia tidak juga segera dapat mengambil kesimpulan sehingga terasa kakinya menjadi gemetar.

Dadanya tergetar ketika ia mendengar tiba-tiba Ki Jagabaya yang selama ini terlampau patuh kepada Ki Demang berkata lantang, “Kita tetap disini. Kita akan melawan meskipun akibatnya akan membuat Kademangan ini menjadi karang abang. Itu adalah kemungkinan yang tidak dapat kita hindari. Tetapi kalau kita berhasil, maka untuk seterusnya kita akan terlepas dari permasalahan yang tidak semena-mena.”

“Ki Jagabaya,” potong Ki Demang, “Apakah kau sadari pendirianmu itu.”

Sebelum Ki Jagabaya menjawab, terdengar suara seorang anak muda, “Aku berdiri dibelakang Ki Jagabaya. Memang sudah saatnya kita berbuat sesuatu, meskipun akibatnya dapat menjadi terlampau parah. Tetapi kita tidak dapat membiarkan semuanya ini terjadi.”

“Tetapi mereka kali ini tidak akan merampas kekayaan kita,” teriak Ki Demang.

“Apa yang akan mereka lakukan?”

“Mereka akan mencari seseorang, yang disangkanya berada di Kademangan ini.”

“Putut Sabuk Tampar?” bertanya Ki Tambi.

“Ya.”

“Darimana Ki Demang tahu?” desak Tambi.

Ki Demang terdiam sejenak. Namun dalam kediaman itu terdengar derap kaki-kaki kuda itu sudah terlampau dekat. Meskipun demikian Ki Demang masih terdengar, “Menurut perhitunganku.”

“Tetapi kami akan melawan kali ini,” geram Ki Tambi.

“Ya, saatnya memang sudah sampai.”

“Sekarang. Kita bukan pengecut. Dan kita tidak akan membiarkan benalu terus hidup pada tubuh kita.”

“Aku bersamamu Panjang,” teriak seorang anak muda yang lain lagi. Ketika anak muda yang pertama-tama menyatakan niatnya untuk melawan yaitu Panjang, berpaling, maka dilihatnya Suwela mengacungkan tangannya.

Tiba-tiba anak-anak muda yang lain pun serentak berkata, “Aku ikut serta. Aku juga.”

Bramanti menjadi semakin tegang. Kini ia tidak dapat berbuat lain daripada tetap tinggal ditempat itu. Kalau ia menyingkir, maka akibatnya pasti akan benar-benar parah bagi para pengawal itu.

Sementara itu, derap kaki kuda dijalan telah menjadi terlampau dekat. Sejenak kemudian mereka mendengar langkah kaki-kaki kuda itu berhenti, dan sejenak kemudian mereka melihat beberapa ekor kuda menyusup beserta penunggangnya memasuki regol halaman.

Semua mata terpaku kepada penunggang kuda yang berjumlah hanya enam orang itu. Namun di antara mereka terdapat seorang yang bernama Wanda Geni. Tetapi agaknya bukan ialah yang paling berkuasa saat itu. Bukan Wanda Geni lah yang memimpin pasukan kecil yang memasuki regol, karena seorang yang lain, tampaknya lebih berkuasa daripadanya.

Semua dada menjadi berdebar-debar dan bertanya-tanya di dalam hati. “Apakah orang ini yang bernama Panembahan Sekar Jagat?”

Sejenak kemudian Wanda Geni mendorong kudanya maju beberapa langkah. Dengan suara lantang ia berkata, “Kali ini aku mempunyai maksud lain. Kami tidak akan mengambil upeti seperti biasanya, karena waktunya memang belum tiba,” Wanda Geni berhenti sejenak lalu, “Tetapi kedatangan kami adalah sekadar untuk memperkenalkan saudara tua kami yang mendapat tugas memimpin sepasukan kecil,” sekali lagi Wanda Geni berhenti. Diedarkan tatapan matanya untuk melihat akibat yang mengusik setiap dada. Namun Wanda Geni menjadi heran. Ia tidak melihat wajah-wajah yang ketakutan seperti setiap kali ia saksikan apabila ia datang bersama beberapa orang untuk mengambil upeti. Bahkan kini ia melihat sorot-sorot mata yang kemerah-merahan dan gigi yang terkatup rapat.

“Apakah orang ini menjadi liar,” desisnya di dalam hati. “Dan kenapa tiba-tiba saja mereka telah berkumpul di halaman ini? Tetapi justru kebetulan sekali. Mereka akan melihat suatu permainan yang sangat menarik, yang akan membuka mata mereka, bahwa Panembahan Sekar Jagat memang mempunyai kekuatan yang tidak terlawan oleh siapapun.”

“Dengar,” teriak Wanda Geni pula. “Aku datang bersama kakak Sapu Angin.”  Orang-orang yang berdiri di halaman itu masih tetap berdiam diri.

“Tetapi jangan takut Kakang Sapu Angin tidak ingin mencari persoalan dengan kalian. Ia hanya ingin melihat salah satu dari Kademangan yang telah menyatakan diri bersedia bekerja bersama-sama dengan Panembahan Sekar Jagat.”

Tidak seorang pun yang menyahut.

Dan Wanda Geni meneruskannya. “Namun kedatangan kami telah membawa keperluan yang lain pula. Kami ingin bertemu dengan orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar. Salah seorang dari kami melihatnya, ia berada di regol halaman rumah ini.”

Orang-orang yang berada di halaman rumah itu terperanjat. Rumah ini adalah rumah Bramanti. Karena itu, maka serentak mereka berpaling. Tetapi tempat Bramanti tadi berdiri telah kosong. Mereka sama sekali tidak melihat, kapan ia meninggalkan tempatnya. Begitu tegangnya mereka memandangi Wanda Geni dan Sapu Angin bersama-sama kawan-kawan mereka, sehingga mereka tidak melihat, perlahan-lahan Bramanti bergeser tempat pada saat orang-orang Penembahan Sekar Jagat itu memasuki regol halaman.

Dada Ki Tambi menjadi berdebar-debar. “Kenapa tiba-tiba saja Bramanti meninggalkan halaman? Apakah ia melarikan diri dan bersembunyi?”

“Nah,” berkata Wanda Geni kemudian. “Dimanakah Putut Sabuk Tampar itu?”

Sejenak para pengawal saling berpandangan. Mereka tidak mengerti maksud Wanda Geni. Namun mereka mengerutkan kening ketika terdengar Wanda Geni berteriak. “He, dimana Sabuk Tampar? Apakah kalian datang kemari sengaja untuk melindunginya? Kalau demikian, maka kami harus memaksa kalian untuk berbicara.”

Masih belum ada seorang pun yang menyahut.

“Ayo, katakan. Dimana Putut Sabuk Tampar.” Wanda Geni berteriak semakin keras. “Apakah kalian memang sengaja berkumpul di halaman ini untuk menunggu kedatangan kami?”

Halaman itu menjadi hening sejenak. Namun kemudian terdengar suara Ki Demang yang membuat orang-orang di halaman itu berdebar-debar. “Tidak. Tidak sama sekali. Kami sedang mencari seseorang yang kami anggap telah melanggar tata cara kehidupan kami di sini.”

Wanda Geni mengerutkan keningnya. Ditatapnya setiap wajah orang-orang Candi Sari yang berada di halaman itu, seakan-akan ingin meyakinkan, apakah yang dikatakan oleh Ki Demang itu benar. Dan ternyata memang setiap wajah yang disambar oleh tatapan matanya yang tajam, segera tertunduk.

Tetapi tiba-tiba dada Wanda Geni berdesir ketika terpandang olehnya mata Ki Tambi yang membara. Di wajah itu sama sekali tidak terbayang ketakutan dan kecemasannya menghadapi orang-orang Panembahan Sekar Jagat, yang justru kali ini bersama seorang yang paling dipercaya, Sapu Angin.

Sejenak Wanda Geni memandang mata Ki Tambi yang menjadi kemerah-merahan. Dan mata yang kemerah-merahan itu telah membuat darahnya mengalir lebih cepat.

Ki Demang agaknya melihat keadaan itu, sehingga cepat-cepat ia berkata, “Kami datang untuk memberikan sebuah peringatan kecil kepada anak yang tinggal di rumah ini.”

“Apa yang telah dilakukannya?” bertanya Wanda Geni.

“Ia telah menyerang kawannya sendiri dengan licik.”

“Siapa anak itu?”

“Namanya Bramanti.”

Wanda Geni mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas di pandanginya wajah Sapu Angin yang tegang dan dalam. Tetapi Sapu Angin itu sama sekali tidak memberikan tanggapan apapun.

Dalam kesepian yang menyambar sesaat itu, seseorang kawan Wanda Geni mendekatinya. Kemudian orang itu berdesis perlahan-lahan. “Orang itulah.”

“He,” bertanya Wanda Geni.

“Orang itulah yang mengancam aku akan membunuhku sama sekali.”

Wanda Geni mengerutkan keningnya, “Yang mana?”

Orang itu ternyata sudah tidak segan-segan lagi. Jari tangannya kemudian menunjuk Ki Tambi yang berdiri tegang, “Itu.”

“O, yang matanya merah seperti mata burung pelatuk itu.”

Dada Ki Tambi berdesir. Orang yang menunjuk kepadanya itu adalah orang yang ditangkapnya selagi ia terluka parah dan dibawanya ke Kademangan. Ternyata ia masih tetap mengenalnya, dan bahkan kini agaknya ia akan melepaskan sakit hatinya, karena kekalahan yang dialaminya pada saat ia melawan Putut Sabuk Tampar.

“He,” bentak Wanda Geni. “Benarkah kau yang telah menangkap kawanku ini pada saat ia sedang tidak berdaya?”

Ki Tambi masih berdebar-debar. Namun ia tidak akan mengelak apapun yang akan terjadi atas dirinya. Karena itu maka ia pun menjawab lantang, “Kalian memilih istilah yang tidak aku senangi. Aku lebih baik mengatakan, bahwa akulah yang telah menolongnya, sehingga orang itu tidak mati dipinggir jalan dan menjadi makanan anjing liar.”

Dahi Wanda Geni berkerut. Hampir saja ia berteriak. Tetapi suaranya segera terputus oleh suara tertawa Sapu Angin. “Bagus. Kau mendapat kalimat yang tepat. Yang benar adalah kau. Orang semacam orang ini memang sepantasnya hanyalah menjadi makanan anjing-anjing liar.” Dan suara tertawa Sapu Angin menjadi berkepanjangan.

Namun dengan demikian wajah Wanda Geni dan orang yang memberitahukan kepadanya itu menjadi merah padam.

“Nah, sekarang aku datang untuk melakukan pekerjaan yang lain bagi kalian. Dan aku kira aku bukan sebangsa kelinci makanan anjing jalanan,” berkata Sapu Angin kemudian. “Sekarang katakan, dimanakah anak yang kau cari itu? Anak yang menurut keterangan kalian tinggal di rumah ini, karena kami pun sedang mencari seseorang dihalaman rumah ini.”

Tidak seorang pun yang menjawab. Ki Demang menebarkan pandangan matanya kesekelilingnya. Kini anak-anak muda Candi Sari yang semula menyebar seakan-akan telah berkerumun berdesak-desakan. Dan tidak seorang pun dari mereka yang mempedulikan Bramanti.

“Dimana Bramanti,” bertanya Ki Demang.

Tidak seorang pun yang menyahut.

“Dimana Bramanti,” Ki Demang berteriak.

Masih belum ada yang menyahut.

Tiba-tiba timbullah akal Ki Demang untuk memanggil Bramanti keluar dari persembunyiannya seperti yang dilakukan oleh Temunggul seandainya ia masih berada dihalaman itu. Katanya lantang, “Kalau Bramanti tidak segera keluar dari persembunyiannya, maka kami akan menangkap Nyai Pruwita sebagai gantinya.”

“Buat apa kami menangkap perempuan itu,” teriak Wanda Geni. Ia telah mengenal perempuan itu, sebagai bekas istri Demang Candi Sari yang dahulu. Bahkan kadang-kadang ia sengaja berteriak-teriak memanggilnya apabila ia lewat di jalan di depan regol halaman rumah ini.

“Bramanti adalah anak dari perempuan itu,” jawab Ki Demang.

“Tetapi kami tidak menghendaki keduanya. Kami mencari Putut Sabuk Tampar.”

“Biarlah anak itu dibawa kami,” sahut Sapu Angin. “Di halaman ini ada seorang anak muda yang bernama Bramanti. Kalau benar Sabuk Tampar berada di halaman itu pula, kita akan dapat bertanya kepada anak muda itu.”

Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Karena itu, kita memerlukan Bramanti.”

Semua orang, termasuk Ki Tambi menjadi berdebar-debar. Apakah yang kira-kira akan terjadi atas anak muda itu seandainya ia dapat diketemukan dihalaman ini.

Sejenak kemudian Ki Demang berteriak pula, “Bramanti, apakah kami harus menangkap ibumu dan menyeretnya ke Kademangan?”

Tetapi belum seorang pun dari mereka yang melihat Bramanti.

Sementara itu Bramanti sedang berada di dalam kandangnya. Ketika ia bergeser dari halaman rumah itu, ketika anak-anak muda yang lain justru saling mendekat, maka ia pun segera masuk ke dalam kandangnya. Dan kini ia mendengar Ki Demang sedang mengancamnya.

“Bramanti,” sekali lagi ia mendengar suara Ki Demang semakin keras. “Apakah kau menunggu kami menyeret ibumu?”

Kini tubuh Bramanti seakan-akan menggigil karenanya. Ia tidak dapat mengerti, kenapa Ki Demang selalu berusaha mencegah orang-orang Kademangan Candi Sari melawan Panembahan Sekar Jagat dengan alasan itu-itu juga. Untuk kepentingan Kademangan ini agar tidak menjadi lumat.

Dan kini Ki Demang pasti akan mengorbankannya, tanpa belas kasihan. Dengan demikian justru tidak akan ada perlindungan sama sekali bagi warganya. Seharusnya Ki Demang berbuat sebaliknya. Mencoba menyembunyikannya, meskipun nanti setelah orang-orang itu pergi, seandainya ia masih akan menghukumnya dalam persoalan di antara keluarga sendiri itu akan terus dilakukannya.

Ketika terdengar suara Ki Demang lagi, Bramanti sudah tidak dapat membuat pertimbangan-pertimbangan lain. Kemungkinan yang demikian ini memang sudah diperhitungkannya pula. Karena itulah ia masuk ke dalam kandangnya. Ia sama sekali tidak ingin bersembunyi. Tetapi untuk melawan orang-orang Panembahan Sekar Jagat, bukanlah pekerjaan yang dapat dilakukan sambil menganyam keranjang. Itulah sebabnya maka segera ia memanjat tiang kandang. Tangannya menggapai blandar yang membujur di atas tiang itu. Ketika ia meloncat turun, maka ditangannya telah tergenggam sebuah pedang pendek. Pedang peninggalan ayahnya yang disembunyikannya tanpa seorang pun yang mengetahuinya.

“Mungkin aku memerlukannya,” gumamnya.

Bramanti mengangkat wajahnya ketika sekali lagi Ki Demang berteriak menirukan Temunggul, “Aku akan menghitung sampai sepuluh bilangan Bramanti.Kalau kau tidak keluar, maka ibumu akan menjadi gantinya,” ia berhenti sejenak lalu, “satu…”

Tetapi belum sampai pada hitungan yang kedua, Bramanti telah melangkah keluar dari dalam kandangnya sambil berkata, “Aku disini Ki Demang.”

“Nah, bukankah kau keluar seperti seekor jengkerik dituang air?” desis Ki Demang. “Kemarilah. Hukumanmu masih belum dilaksanakan.”

Bramanti mengangkat wajahnya. Ketika ia melangkah maju, dilihatnya mata Wanda Geni dan kawan-kawannya yang berada disisinya itu terbelalak. Hampir bersamaan keduanya berteriak sambil menunjuk kepada Bramanti, “Itulah dia. Itulah dia.”

“Siapa?” bertanya Ki Demang dan Sapu Angin serentak.

“Sabuk Tampar. Putut Sabuk Tampar.”

“He?” meskipun keduanya, Ki Demang dan Sapu Angin bersama-sama terkejut, namun yang bergolak di dalam hati masing-masing adalah berbeda. Sapu Angin memang sedang mencari Putut Sabuk Tampar sehingga dengan demikian maka ia merasa, bahwa yang dicarinya segera dapat diketemukan.

Tetapi sebaliknya bagi Ki Demang. Ia memandang Bramanti dengan mulut ternganga. Ia tidak dapat percaya pada pendengarannya bahwa anak itulah yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar.

Namun bukan saja Ki Demang, tetapi semua orang yang berada di halaman itu serasa mendengar ledakan petir di ujung rambut. Hanya Tambi lah yang segera dapat menguasai perasaannya, karena ia memang sudah menduga, bahwa Bramanti lah yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar. Sedang Panjang, masih juga dengan susah payah mencoba menenangkan dirinya.

Dalam kediaman yang tegang itu terdengar suara Sapu Angin, “Apakah kau tidak keliru Wanda Geni.”

“Tidak. Aku tidak akan keliru. Aku berdua adalah saksi yang langsung. Pertemuan kita di malam hari waktu itu memang tidak dapat meyakinkan. Tetapi pertemuan yang kedua, disiang hari, anak itu itu tidak dapat lagi menyembunyikan dirinya.

Sapu Angin mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya wajah Bramanti dengan tajamnya. Dan ternyata Bramanti pun sama sekali tidak menyadari tatapan mata itu.

“Kaukah yang menyebut dirimu Putut Sabuk Tampar?” bertanya Sapu Angin.

Bramanti merasa tidak ada gunanya lagi mengelak. Karena itu maka jawabnya mantap, “Ya. Akulah Putut Sabuk Tampar, utusan Resi Panji Sekar. Nah, apa yang akan kau lakukan sekarang?”

Sapu Angin mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Aku ingin bertemu dengan Resi Panji Sekar.”

“Yang ada sekarang adalah Putut Sabuk Tampar. Yang penting bagiku adalah, mengusir kau dari Kademangan ini. Aku sudah muak melihat tingkah laku orang-orangmu. Apalagi kerakusan mereka tidak terbatas kepada harta benda. Tetapi juga terhadap gadis-gadis.”

Sapu Angin mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Tetapi matanya menjadi seolah-olah menyala.

Dalam pada itu Temunggul serasa berdiri di atas api. Ia menjadi gelisah dan tidak mengerti, apakah sebenarnya yang sedang dihadapinya. Seandainya benar Bramanti adalah orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar, maka ia pasti akan terlibat langsung dengan orang itu. Karena itu, maka dalam keragu-raguan hatinya serasa terpanggang di atas api.

“Putut Sabuk Tampar,” desis Sapu Angin. “Kedatanganku memang sengaja untuk mencarimu. Sudah dua kali kau menghalangi orang-orangku. Aku kira Panembahan Sekar Jagat telah terlampau longgar. Biasanya gangguan yang pertama telah cukup menjadi alasan untuk menyingkirkannya. Tetapi kau mendapat kesempatan sampai dua kali. Baru kali ini aku mendapat kesempatan atas nama Panembahan Sekar Jagat menemuimu.”

Bramanti tidak segera menyahut.

Dan Sapu Angin berkata selanjutnya, “Tetapi ternyata kau tidak akan mendapat kesempatan selanjutnya.”

Ketika Sapu Angin berhenti berbicara, halaman itu menjadi hening. Tidak seorang pun yang mengucapkan kata-kata. Bahkan Ki Demang merasa seolah-olah mulutnya terbungkam.

Dalam keheningan itulah, setiap dada serasa bergetar. Dengan demikian mereka menyadari, kenapa Bramanti menolak perlindungan Panggiring. Karena ternyata ia sendiri merasa dapat melindungi diri.

Sejenak kemudian maka terdengar suara Sapu Angin berat, “Ki Demang. Kalau memang orang-orangmu tidak ingin berbuat onar, dan tidak ingin melihat kehancuran Kademangan Candi Sari, maka aku pun tidak akan mempersoalkannya. Aku hanya sekadar ingin menangkap anak yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar ini.”

Ki Demang tidak bisa segera menjawab. Ia berdiri di simpang jalan yang sulit. Ia tahu bahwa Putut Sabuk Tampar bukan sekadar seorang anak muda yang cengeng seperti yang selalu diperlihatkan Bramanti dalam hidupnya sehari-hari. Kalau ia berterus terang memusuhinya, maka akibatnya belum dapat dibayangkan. Apalagi bila teringat olehnya, Bramanti adalah adik Panggiring, meskipun sampai saat ini Bramanti menolak hubungan itu.

Karena Ki Demang tidak segera menjawab, maka terdengar Sapu Angin berkata lantang, “He, kenapa kau diam saja Ki Demang. Suruhlah orang-orangmu pergi. Biarlah Putut Sabuk Tampar itu tinggal. Aku memerlukan anak itu. Kalau ia tidak terlampau banyak tingkah, maka ia akan aku bawa hidup menghadap Panembahan Sekar Jagat. Tetapi kalau ia menyombongkan diri, melawan kehendakku, maka aku akan terpaksa membunuhnya.”

Ki Demang menjadi semakin bingung karenanya. Namun bagaimanapun juga ia mempunyai pertimbangannya sendiri, sehingga tiba-tiba ia berkata, “Baiklah. Aku akan membawa orang-orangku pergi.”

Namun Ki Demang terkejut ketika tiba-tiba terdengar suara Ki Tambi, “Sudah aku katakan. Kami telah siap melakukan sesuatu kali ini. Kami berdiri di belakang Ki Jagabaya. Agaknya Ki Jagabaya adalah seorang yang paling bertanggung jawab di Kademangan ini.”

Ki Jagabaya yang semula telah dijalari oleh keragu-raguan mendengar kata-kata Ki Tambi itu tiba-tiba tergugah hatinya. Hampir tanpa sesadarnya ia berkata, “Ya, kita akan berbuat sesuatu.”

“Ki Jagabaya” potong Ki Demang. “Kau masih juga berlaku bodoh. Kau adalah orang yang mabuk pujian. Apakah kau sadari kata-kata Ki Tambi yang ingin menjerumuskan kau kedalam kesulitan?”

“Hanya orang-orang jantanlah yang bertanggungjawab atas kata dan perbuatannya,” sela Ki Tambi sebelum Ki Jagabaya menjawab.

“Tutup mulutmu Tambi,” teriak Ki Demang. “Aku menyesal menerima kau kembali di Kademangan ini. Ternyata kau telah menjerumuskan kami semua ke dalam kesulitan.”

Tetapi tiba-tiba saja Ki Tambi itu tertawa. Di pandanginya wajah anak-anak yang ada di halaman itu. Ketika matanya membentur wajah Panjang, Ki Tambi menganggukkan kepalanya, seolah-olah ia ingin melihat, apakah Panjang benar-benar seorang pengawal yang baik.

Dada Panjang masih juga bergelora. Namun kemudian dengan mantap ia berkata, “Aku berdiri di belakang Ki Jagabaya. Aku adalah seorang pengawal Kademangan. Dan aku merasa ikut bertanggung jawab menghadapi masalah-masalah serupa ini.”

Ki Jagabaya yang mulai ragu-ragu, tiba-tiba mengangkat wajahnya dan berkata, “Marilah. Marilah kita berbuat sesuatu kali ini. Kita bukan budak-budak yang hanya mampu bersimpuh dan menundukkan kepala.”

“Aku sudah menduga,” sahut Ki Tambi cepat-cepat. “Ki Jagabaya pasti akan berdiri ditempatnya, sebagai pelindung rakyat Kademangan ini.”

“Persetan semuanya,” tiba-tiba Sapu Angin berteriak. “Kenapa kalian mengigau seperti orang yang kehilangan kesadaran. Aku, Sapu Angin berada disini. Lihatlah aku. Lihat. Apakah kalian masih berani mengangat wajah kalian menatap mataku? Ingat. Aku dapat berbuat apa saja atas Kademangan ini. Aku dapat membuatnya hancur lumat menjadi debu, apabila aku menghendaki.”

Sapu Angin terkejut ketika Tambi maju selangkah sambil berkata, “Setiap jengkal tanah, setiap ujung rambut perawan dari Kademangan ini, harus dipertaruhkan dengan nyawa. He Sapu Angin, jangan terlampau sombong. Kami sudah siap menghadapi kalian kali ini setelah kami terlena oleh sihirnya angin beberapa saat lamanya.”

“Tutup mulutmu,” bentak Sapu Angin. “Kau belum mengenal Sapu Angin. Tetapi baiklah. Kita akan segera berkenalan. Tetapi maaf bahwa aku kurang dapat mengendalikan diri. Mungkin aku menyentuh seseorang dan membuatnya mati atau cacat seumur hidupnya.”

Kata-kata itu telah membuat bulu-bulu tengkuk berdiri. Tetapi Tambi tidak beranjak dari tempatnya. Matanya menyala dan menatap wajah orang yang menyebut dirinya Sapu Angin.

“Hem,” Sapu Angin menggeram, “Kaulah agaknya biang keladi dari perlawanan ini. Seperti yang dikatakan Wanda Geni.”

Namun sebelum Ki Tambi menjawab, Bramanti melangkah maju. Tiba-tiba saja langkahnya menjadi berbeda. Kali ini langkahnya mantap, sehingga seolah-olah tumitnya telah membuat lubang ditanah yang diinjaknya.

“Jangan sesumbar,” desis Bramanti. “Dengarlah. Aku tetap pada permintaan yang pernah aku sampaikan. Tinggalkan tempat ini dan lepaskan usaha kalian yang sangat merugikan itu. Resi Panji Sekar lah yang akan menertibkan daerah ini dengan caranya sendiri.”

“Omong kosong,” teriak Sapu Angin. “Kau yang menyebut dirimu Putut Sabuk Tampar adalah orang yang pertama-tama harus dibinasakan bersama Tambi,” kemudian kepada kelima orang-orangnya ia berkata, “Jangan hiraukan jumlah orang yang berada di dalam halaman ini. Mereka adalah orang-orang dungu yang tidak mengerti pahitnya peperangan. Siapkan diri kalian menghadapi segala kemungkinan.”

Kelima orang itu mengerutkan kening mereka. Satu-satu dipandanginya anak-anak muda Kademangan Candi Sari. Sebagian besar dari mereka ternyata bersenjata.

“Mereka akan menjadi seperti batang ilalang dirambas pedang. Kasihan juga anak-anak yang masih terlampau muda itu. Tetapi itu adalah salahnya sendiri. Mereka telah berani mengangkat senjata melawan kekuasaan Panembahan Sekar Jagat.”

Tetapi Ki Tambi menjawab, “Kalau kami atau salah seorang dari kami mati, masih juga kami mempunyai kebanggaan. Mati dipeperangan. Tetapi kalau salah seorang dari kalian mati, bagaimanakah orang akan menyebut mayat kalian.”

“Cukup,” Sapu Angin berteriak semakin keras. “Kalian memang tidak perlu dikasihani.”

“Sudahlah Sapu Angin,” berkata Bramanti. Pulanglah. Sampaikan kepada Panembahan Sekar Jagat, bahwa Putut Sabuk Tampar tetap pada pendiriannya.”

“Persetan kalian,” Sapu Angin telah kehilangan kesabaran. Kemudian katanya lantang, “Marilah anak-anak. Kita selesaikan kelinci-kelinci yang sombong ini.”

Kuda-kuda itu pun kemudian mulai bergerak ke arah yang berbeda-beda. Sekejap kemudian orang-orang di atas punggung kuda itu sudah menggenggam senjata masing-masing.

Dengan demikian maka anak-anak muda pengawal Kademangan itu menjadi berdebar-debar. Selama ini mereka hampir belum pernah melakukan suatu tindakan apapun yang berarti, sejak mereka mendapat wisuda menjadi pengawal Kademangan, meskipun mereka harus melalui pendadaran. Karena itu, ketika mereka menghadapi bahaya yang sebenarnya, hati mereka menjadi kecut. Bahkan ada di antara mereka yang mengumpat di dalam hati, kenapa ia tidak lari saja meninggalkan halaman itu.

Apalagi ketika pada saat terakhir anak-anak muda yang demikian itu mendengar Ki Demang berkata, “He anak-anak. Aku masih ingin mendapat kemurahan hati dari utusan-utusan Panembahan Sekar Jagat. Aku masih ingin kalian mendapat kesempatan untuk meninggalkan tempat ini selain mereka yang dikehendaki. Misalnya Bramanti, Ki Tambi dan barangkali juga Panjang. Nah, pergunakan kesempatan yang terakhir ini.”

Begitu Ki Demang selesai, maka Bramanti segera menyahut, “Aku adalah anak muda yang paling cengeng di Kademangan ini. Aku sama sekali tidak berarti jika dibandingkan dengan kalian, para pengawal yang perkasa. Tetapi aku tidak akan lari. Aku akan tetap disini dan mengadakan perlawanan sampai kemungkinan yang penghabisan.”

“Bagus, aku juga tetap disini,” sahut Ki Tambi.

“Aku tetap disini,” geram Panjang.

Dan tanpa diduga-duga Ki Jagabaya pun berkata lantang. “Aku tetap disini. Siapa yang ikut aku, tinggallah disini. Siapa yang takut, pergilah.”

Ternyata tidak seorang pun yang meninggalkan halaman itu. Dengan demikian, maka seakan-akan telah bulatlah niat mereka untuk melawan utusan Panembahan Sekar Jagat itu. Meskipun ada satu dua yang masih dijalari oleh kecemasan, tetapi mereka tidak dapat meninggalkan kawan-kawan mereka dalam keadaan itu.

Melihat hal itu Sapu Angin serasa terbakar jantungnya. Kini ia benar-benar akan mulai. Maka diteriakkannya aba-aba. “Habis-kan anak-anak monyet ini.”

Serentak kuda-kuda itu pun maju. Tetapi yang dihadapi telah siap pula, meskipun masih agak ragu-ragu.

Namun tiba-tiba dari antara orang-orang Candi Sari itu, seseorang segera melangkah maju dengan langkah yang tetap mendekati Sapu Angin. Orang itu adalah Bramanti.

“Hem, kau memang sudah jemu melihat sinar mata hari,” desis Sapu Angin.

Tetapi Bramanti tidak memperdulikannya. Tangannya yang telah melekat dihulu pedangnya telah menjadi gemetar.

“Peringatan terakhir bagimu,” desis anak muda itu. “Pergi atau kami terpaksa mengusir kalian.”

Sapu Angin tidak menjawab lagi. Didorongnya kudanya, yang kemudian dengan langkah-langkah pendek maju menyongsong Bramanti.

Sejenak kemudian keduanya telah berhadapan. Meskipun Bramanti tidak berada di punggung kuda, tetapi ia sudah siap menghadapi segala kemungkinan.

Melihat sikap Bramanti, maka anak-anak muda Candi Sari pun segera tergugah hatinya. Temunggul yang selama itu diam seperti patung, tiba-tiba merasa ikut bertanggungjawab pula atas Kademangan ini. Kebenciannya kepada Wanda Geni dan kawannya telah merayapi hatinya dan memuncak ketika mereka akan mengambil Ratri dengan paksa. Dan kini ia mendapat kesempatan untuk mencurahkan kemarahannya itu.

Apalagi ketika ia melihat Ki Tambi telah meloncat pula. Kemudian Ki Jagabaya, Panjang dan anak-anak muda yang lain.

Akhirnya, Temunggul pun menarik senjatanya. Dengan tangkasnya ia pun meloncat menyongsong orang-orang berkuda, namun jumlah orang Candi Sari jauh lebih banyak. Wanda Geni mengumpat-umpat ketika ia harus bertempur melawan Ki Tambi dan beberapa anak muda yang lain, sedang Ki Jagabaya, Panjang, Temunggul dan yang lain-lain lagi telah memilih kelompok-kelompok kecil yang terjadi dengan tiba-tiba untuk melawan orang-orang berkuda itu.

Bagaimanapun juga, maka orang-orang berkuda itu segera mengalami kesulitan. Apalagi mereka tidak menyangka sama sekali, bahwa mereka akan menjumpai lawan dalam jumlah yang besar. Mereka telah pernah mendapat jaminan, bahwa rakyat Candi Sari sama sekali tidak mempunyai minat untuk melawan.

Tetapi karena mereka datang bersama Sapu Angin maka mereka seakan-akan mempercayakan diri mereka kepada pemimpinnya. Sapu Angin adalah orang yang tidak terkalahkan disegala medan. Apalagi kali ini ia hanya sekadar berhadapan dengan anak-anak.

Tetapi anak-anak itu adalah Bramanti. Ditangannya kini telah tergenggam sebuah pedang pendek. Dengan pedang itulah ia bertempur melawan Sapu Angin.

Pertempuran di antara keduanya segera berkobar dengan dahsyatnya. Meskipun setiap orang telah mulai bertempur, namun mereka masih sempat melihat, betapa tangkasnya Bramanti melawan Sapu Angin yang duduk di atas punggung kuda.

Sapu Angin terkejut melihat lawannya yang masih sangat muda itu. Ia tidak menyangka, bahwa anak itu mampu bergerak terlampau cepat. Meskipun dari Wanda Geni ia telah mendengar, bahwa Putut Sabuk Tampar adalah seorang yang luar biasa, yang mampu mengalahkan Wanda Geni dengan kawan-kawannya sekaligus, namun ketika ia melihat tandangnya dengan mata sendiri, hatinya menjadi berdebar-debar.

“Dimana anak ini menyadap ilmunya itu?” desis Sapu Angin di dalam hatinya.

Dengan demikian, maka Sapu Angin tidak dapat lagi menganggap lawannya hanyalah seorang anak muda.

Sapu Angin yang duduk dipunggung kuda itu tiba-tiba merasa tubuhnya terguncang. Ia sadar sepenuhnya ketika kudanya tiba-tiba melengking dan melonjak. Agaknya kudanya telah tersentuh ujung pedang Bramanti sehingga kudanya itu terkejut dan berdiri di atas kaki belakangnya.

Dalam keadaan serupa itulah Bramanti menyerang. Begitu dahsyatnya. Lawannya yang masih berusaha mencari keseimbangan, dengan susah payah berusaha menangkis serangan Bramanti itu. Namun kekuatan Bramanti yang tercurah di tajam senjatanya, telah mendorong Sapu Angin demikian dahsyatnya. Ketika kudanya sekali lagi bergoyang, maka Sapu Angin tidak mampu lagi menahan keseimbangannya. Karena itu, maka ketika pedang Bramanti sekali lagi menyambarnya, letak Sapu Angin telah mulai bergoyah.

Bramanti tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Sekali lagi ia menyentuh leher kuda itu dengan pedangnya, sehingga kuda itu pun sekali lagi melonjak.

Sapu Angin benar-benar telah kehilangan keseimbangannya. Karena itu Bramanti menyerangnya dengan garang, tidak ada jalan lain baginya daripada berguling di sisi lain.

Demikianlah Sapu Angin dan Bramanti telah berhadapan dengan kaki di atas tanah. Ternyata keduanya adalah orang-orang yang tangguh dan memiliki ilmu yang jauh melampaui orang-orang kebanyakan.

Ki Demang yang tidak menyangka, bahwa keadaan akan berkembang menjadi sedemikian buruknya, masih berdiri dalam kebingungan. Sekali-kali ia bergeser, sehingga akhirnya ia berdiri di atas tangga pendapa seperti orang yang kehilangan akal.

Halaman rumah Bramanti itu telah menjadi arena pertempur-an yang menjadi semakin seru. Orang-orang Panembahan Sekar Jagat telah berkelahi dengan kemarahan yang meluap-luap. Mereka tidak pernah mendapat perlawanan hampir di semua daerah yang pernah dikunjunginya. Dan tiba-tiba kini mereka harus benar-benar bertempur melawan jumlah yang jauh lebih banyak dari jumlah mereka yang hanya enam itu.

Ketika mereka berangkat dari padepokan Panembahan Sekar Jagat, mereka menyangka, bahwa tugas mereka tidak akan terlampau berat. Sekadar menangkap Putut Sabuk Tampar. Dan pekerjaan itu telah diserahkan kepada seseorang yang memang dapat dipercaya, Sapu Angin. Sedang yang lain hanyalah sekadar mengawasi dan menjaga agar Putut itu tidak sempat melarikan diri. Namun tiba-tiba yang dijumpai adalah anak-anak muda Kademangan Candi Sari yang seolah-olah menjadi wuru dan melawan mereka sejadi-jadinya.

Ki Tambi yang mempunyai pengalaman cukup banyak ternyata memiliki kemampuan yang cukup untuk melawan Wanda Geni. Meskipun ia tidak dapat menghadapinya sendiri, tetapi ia mampu memimpin perlawanan bersama beberapa anak-anak muda. Dengan demikian, betapa garangnya Wanda Geni, namun menghadapi mereka, hatinya menjadi kecut juga.

Di bagian lain Ki Jagabaya bersama dua orang pengawal berkelahi mati-matian melawan seorang penunggang kuda. Kekuatan tubuh Ki Jagabaya ternyata mampu diandalkan. Meskipun ia tidak setangkas lawannya, namun ternyata kekuatannya merupakan kelebihan yang dapat dibanggakan. Sedang kedua kawannya telah membantunya, mengisi setiap kekurangan yang ada padanya.

Panjang pun telah bertempur mati-matian di dalam sebuah kelompok kecil yang terdiri dari empat orang. Sebagai seorang baru, maka Panjang berusaha untuk tidak mengecewakan. Ternyata bahwa ia memiliki keberanian yang cukup. Seperti pada saat ia mengendap di padang ilalang, menunggu seekor harimau di masa pendadaran. Ia sama sekali tidak mengenal takut. Meskipun pengalamannya masih kurang namun bersama kawan-kawannya ia mampu membuat lawannya kebingungan.

Temunggul ternyata memiliki kelincahan yang cukup. Ia tidak melawan lawannya yang berkuda seorang diri. Dengan tangkasnya mereka meloncat-loncat berputaran, supaya lawannya menjadi bingung dan kadang-kadang kehilangan pengamatan. Dalam keadaan demikian lawannya selalu membawa kudanya berlari beberapa langkah menjauh, kemudian berputar dan menyerang dengan dahsyatnya. Pedangnya terayun-ayun menyambar lawan-lawannya.

Anak-anak muda yang lainpun telah melibatkan diri didalam perlawanan itu. Suwela ternyata gigih juga. Apalagi pengawal-pengawal yang lebih tua daripadanya.

Orang-orang Panembahan Sekar Jagat itu ternyata telah masuk ke dalam suatu perangkap yang ketat. Sulitlah bagi mereka untuk dapat keluar lagi dari halaman itu. Dengan dada berdebar-debar mereka melihat wajah-wajah anak Candi Sari yang telah menjadi merah membara.

Selama ini mereka telah menekan diri, menahan setiap niat untuk melakukan perlawanan. Kini dada mereka serasa meledak. Ketika keringat telah menetes dari kening dan membasahi hulu-hulu senjata, maka lenyaplah segala keragu-raguan.

Dengan demikian, maka perkelahian di antara mereka itu pun menjadi semakin lama semakin cepat. Kedua belah pihak telah terbakar oleh kemarahan yang menyala di dalam dada masing-masing.

Yang setiap saat menumbuhkan pertanyaan adalah Bramanti. Ki Demang yang berdiri kebingungan ditangga pendapa, sekilas melihat betapa Bramanti mampu mengimbangi lawannya yang bernama Sapu Angin itu.

Bahkan sekali-kali Ki Demang menahan nafas. Sama sekali tidak terduga-duga, bahwa Bramanti mampu berkelahi sedahsyat itu. Pedang pendeknya menyambar-nyambar seperti burung sikatan. Cepat dan berbahaya, mengarah kesegenap bagian tubuh lawannya.

 

Bersambung ke jilid 6

 

—–oSPo—–

Diedit oleh Satpampelangi

kembali | lanjut

Tinggalkan komentar